Dirjen Pajak Perlonggar Aturan Penyanderaan Penunggak Pajak
Utama

Dirjen Pajak Perlonggar Aturan Penyanderaan Penunggak Pajak

Karena DJP ingin lebih realistis menerapkan gijzeling bagi penunggak pajak. Namun, dalam penyenderaan, para petugas pajak harus bertindak secara manusiawi.

Oleh:
CR-26
Bacaan 2 Menit
Kantor Ditjen Pajak Jakarta. Foto: SGP
Kantor Ditjen Pajak Jakarta. Foto: SGP

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) baru saja merevisi aturan mengenai gijzeling atau penyanderaan bagi penunggak pajak. Aturan baru tersebut tertuang dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-03/PJ/2018 tentang Perubahan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-218/PJ/2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyanderaan dan Pemberian Rehabilitasi Nama Baik Penanggung Pajak yang Disandera Direktur Jenderal Pajak.

 

Beleid itu diteken Direktur Jenderal Pajak, Robert Pakpahan yang mulai berlaku sejak 23 Januari 2018. Hal terbaru dalam Peraturan Dirjen Pajak ini tertuang dalam Pasal 14 ayat (4) huruf d dan e. Misalnya, dalam Pasal 14 ayat (4) huruf d dijelaskan penanggung pajak yang bukan pemegang saham telah membayar utang pajak dengan semua harta kekayaan yang sebenarnya dimilikinya selain harta kekayaan yang dikecualikan untuk dilakukan penyitaan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.

 

Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat (P2 Humas) DJP, Hestu Yoga Seksama menjelaskan dengan ada aturan baru tersebut, maka penunggak pajak yang bukan pemegang saham, seperti level direksi dapat dibebaskan dari penyanderaan setelah tunggakan pajaknya dibayarkan dengan harta kekayaan yang dimilikinya.

 

“Dia (penunggak pajak) bukan pemegang saham, tapi seorang direksi dan bertanggung jawab penuh terhadap seluruh tunggakan, maka akan kami lepas setelah dia menggunakan harta kekayaannya untuk membayar tunggakan,” kata Yoga saat dihubungi Hukumonline, Rabu (7/2/2018). Baca Juga: DJP Siap Lakukan Penegakan Hukum Pasca Amnesti Pajak

 

Pembebasan penyanderaan tersebut dapat dilakukan meskipun tunggakan pajak belum dibayar sepenuhnya dan belum mencapai batas waktu maksimal 6 bulan. Sementara dalam Pasal 14 ayat (4) huruf e dijelaskan penanggung pajak pemegang saham telah membayar utang pajak sesuai dengan porsi kepemilikan saham, kecuali Direktur Jenderal Pajak dapat membuktikan bahwa mereka bertanggung jawab atas seluruh utang pajak tersebut.

 

Dalam poin tersebut disebutkan pemegang saham membayar tunggakan pajaknya disesuaikan dengan kepemilikan saham pada suatu badan usaha. Berbeda dengan aturan sebelumnya yang menyatakan pemegang saham tidak dapat dilepaskan dari penyanderaan jika seluruh tunggakan pajak yang ditanggung badan usaha tidak dapat dilunasi.

 

“Misalnya, tunggakannya Rp 1 miliar, sedang porsi kepemilikan sahamnya sebesar 40 persen. Nah, kalau dia sudah bayar Rp 400 juta maka bisa minta kepada Menteri Keuangan melalui KPP (kantor pelayanan pajak) bahwa tunggakan pajaknya sudah diselesaikan sesuai dengan porsi sahamnya. Sedangkan sisa tunggakannya sebesar 60 persen ditanggung pemegang saham lain,” kata Yoga.

Tags:

Berita Terkait