Tiga Poin Revisi UU MD3 Ini Akhirnya ‘Digugat’ ke MK
Utama

Tiga Poin Revisi UU MD3 Ini Akhirnya ‘Digugat’ ke MK

Pemohon minta kepada MK agar ketiga pasal tersebut dihapus karena bertentangan dengan UUD Tahun 1945.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Gedung Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Foto: RES
Gedung Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Foto: RES

Baru saja disahkan dalam rapat paripurna, UU Perubahan Kedua Atas UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (MD3) dipersoalkan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Ada tiga pasal yang dimohonkan pengujian yakni Pasal 73 ayat (3) dan ayat (4) huruf a dan c, Pasal 122 huruf k, Pasal 245 ayat (1) UU yang belum bernomor ini.

 

Ketiga pasal itu mengatur hak DPR memanggil paksa, melaporkan semua elemen masyarakat yang merendahkan kehormatan DPR, dan hak imunitas ketika ada dugaan tindak pidana di luar tugasnya sebagai anggota DPR. Pemohonnya, Forum Kajian Hukum & Konstitusi (FKHK), Husdi Herman Ahli Hukum Agraria, dan Kurniawan Mahasiswa Pascasarjana FH UGM yang merasa hak konstitusionalnya dirugikan atas berlakunya norma tersebut.

 

Kuasa Hukum Pemohon, Irmanputra Sidin mengaku telah mendaftarkan uji materi Pasal 73 ayat (3) dan ayat (4) huruf a dan c, Pasal 122 huruf k, Pasal 245 ayat (1) UU Perubahan Kedua UU MD3 ini di bagian Kepaniteraan MK. “Substansi yang diuji, adanya pemanggilan paksa warga negara, imunitas DPR dan antikritik. Kita minta kepada MK agar norma itu dihapus karena bertentangan dengan UUD Tahun 1945,” kata Irman usai mendaftarkan uji materi UU Perubahan Kedua UU MD3 ini di Gedung MK Jakarta, Rabu (14/2/2018). Baca Juga: Alasan Dua Fraksi Tolak Pengesahan RUU MDE menjadi UU

 

Selengkapnya Pasal 73 ayat (3) berbunyi “Dalam hal setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak hadir setelah dipanggil 3 (tiga) kali berturut-turut tanpa alasan yang patut dan sah, DPR berhak melakukan panggilan paksa dengan menggunakan Kepolisian Negara Republik Indonesia.”

 

Ayat (4)-nya menyebutkan, “Panggilan paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Pimpinan DPR mengajukan permintaan secara tertulis kepada Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia paling sedikit memuat dasar dan alasan pemanggilan paksa serta nama dan alamat pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, dan atau warga masyarakat yang dipanggil paksa. (b)…….

 

Pasal 122 huruf k berbunyi, mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR,”

 

Pasal 245 ayat (1) berbunyi “Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).”

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait