Penyusunan Ancaman Pidana Harus Objektif dan Berbasis Data
Rancangan KUHP:

Penyusunan Ancaman Pidana Harus Objektif dan Berbasis Data

Yurisprudensi dan hasil kajian atas pelaksanaan KUHP selama ini bisa dijadikan rujukan. Sebaiknya penentuan hukuman bukan hasil negosiasi politik.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Diskusi RUU KUHP khususnya penghukuman di IJSL Jakarta., Selasa (13/2) Foto: MYS
Diskusi RUU KUHP khususnya penghukuman di IJSL Jakarta., Selasa (13/2) Foto: MYS

Sejumlah materi muatan RUU KUHP masih mendapat kritik dari beragam kelompok masyarakat dan beragam kepentingan. DPR dan Pemerintah masih membuka ruang bagi masyarakat untuk memberikan masukan dalam proses penyusunan. Di berbagai forum, masyarakat memang melayangkan kritik. Misalnya, ada pasal yang sudah dibatalkan Mahkamah Konstitusi masih dimasukkan lagi ke dalam draf.

 

Masalah lain yang disorot adalah ancaman hukuman pidana yang dimasukkan ke dalam setiap pasal. Pada beberapa pasal ancaman pidananya lebih berat dibanding rumusan KUHP saat ini; dan ada juga yang lebih ringan. Misalnya, Pasal 207 KUHP mengancam penjara 1,5 tahun atau denda maksimal 4.500 rupiah (sebelum penyesuaian) barangsiapa dengan sengaja di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina suatu penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia.

 

Bandingkan dengan Pasal 266 RUU KUHP yang mengancam pidana maksimal 4 tahun atau denda paling banyak Kategori IV setiap orang yang dimuka umum dengan lisan atau tulisan yang menghasut orang untuk melakukan tindak pidana atau menghasut orang untuk melakukan penguasa umum dengan kekerasan.

 

(Baca juga: Bahasa Hukum: Disparitas Putusan dan Pemidanaan yang Tidak Proporsional)

 

Pengajar pidana pada Sekolah Tinggi Hukum Jentera Jakarta, Anugerah Rizky Akbari, berpendapat harus ada parameter dan ukuran yang jelas mengapa suatu tindak pidana diancam hukuman tujuh atau 15 tahun, misalnya. Sebagai penyusun RUU KUHP, Pemerintah dan DPR harus bisa menjelaskan secara logis, objektif, dan dikuatkan dengan data asal muasal lamanya hukuman yang diancamkan atau besaran denda yang dimuat. “Perhitungannya harus objektif, jelas, berbasis data, dan ada buktinya,” ujarnya dalam diskusi mengenai RUU KUHP di Jakarta, Selasa (13/2) lalu.

 

Dalam penyusunan RUU KUHP, pemerintah sebenarnya sudah melibatkan sejumlah ahli pidana untuk membahas dan memberikan masukan. Hasilnya, sudah ada 735 pasal yang disusun, termasuk pasal-pasal mengenai hukuman. Dalam RUU KUHP pidana pokok meliputi pidana penjara, pidana tutupan, pidana pengawasan, pidana denda, dan pidana kerja sosial. Selain pidana pokok ada pidana tambahan dan pidana yang bersifat khusus sesuai tindak pidana tertentu yang ditentukan dalam Undang-Undang. Berkaitan dengan denda, RUU mengatur tujuh kategori denda.

 

Namun, keikutsertaan ahli dalam penyusun rancangan tak selamanya menjamin penyusunan ancaman hukuman penjara dan denda objektif dan berbasis data. Psikolog forensik, Nathanael E.J. Sumamouw, mengatakan para ahli yang dilibatkan dalam prnyusunan suatu peraturan juga berpotensi bias. Karena itu, sependapat dengan Anugerah Rizky Akbari, Nathanael menilai penting membuat hukuman itu dengan data dan skor yang terukur. “Ahli juga rentan terhadap bias,” ujarnya.

 

Yurisprudensi Mahkamah Agung dan hasil-hasil penelitian bisa dijadikan rujukan oleh Pemerintah, DPR dan para ahli ketika menyusun rumusan hukuman untuk suatu tindak pidana. “Jangan instan. Ancaman pidana itu jangan dinegosiasikan,” kata Eky, panggilan Anugerah Rizky Akbarii.

Tags:

Berita Terkait