Desakan Mundur Ketua MK Dinilai Tak Etis dan Berlebihan
Berita

Desakan Mundur Ketua MK Dinilai Tak Etis dan Berlebihan

UU MK dan PMK No. 01 Tahun 2003 tidak mengatur rumusan pasal yang dapat membuat hakim konstitusi berhenti dari jabatannya atas dasar alasan desakan dari sekelompok orang. Karena itu, Arief diminta tetap menjalankan tugas konstitusionalnya.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Konperensi pers bertajuk “Siapa Sebenarnya yang Tidak Etis dalam Kisruh Ketua MK” yang diselenggarakan Kolegium Jurist Institute di Jakarta, Kamis (15/2). Foto: AID
Konperensi pers bertajuk “Siapa Sebenarnya yang Tidak Etis dalam Kisruh Ketua MK” yang diselenggarakan Kolegium Jurist Institute di Jakarta, Kamis (15/2). Foto: AID

Kisruh sejumlah pihak yang meminta Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat mundur telah berjalan hampir beberapa pekan. Namun, sejumlah pihak lain menilai tuntutan mundur tersebut telah salah arah dan kurang tepat dan menimbulkan pertanyaan siapa yang sebenarnya tidak etis terkait desakan ketua MK mundur ini.

 

Direktur Kolegium Jurist Institute, M. Ilham Hermawan mengatakan desakan mundur Arief Hidayat sebagai hakim MK secara normatif tidak dimungkinkan. Sebab, UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK hanya mengatur tentang pemberhentian hakim konstitusi secara hormat dan tidak hormat. Tidak terdapat satu rumusan pasal pun yang dapat membuat hakim konstitusi berhenti dari jabatannya atas dasar alasan desakan sekelompok orang.

 

“UU MK tidak mengatur ketentuan mundurnya ketua MK. Dan PMK No. 01 Tahun 2003 tentang Tata Cara Pemilihan Ketua dan Wakil Ketua MK tidak terdapat satu pasal pun yang mengatur tentang mundurnya ketua MK. Harus ada permintaan sendiri untuk mengundurkan diri,” kata Ilham, dalam jumpa pers bertajuk “Siapa Sebenarnya yang Tidak Etis dalam Kisruh Ketua MK” di Jakarta, Kamis (15/2) kemarin.

 

Ia menjelaskan mengenai adanya pendapat agar Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi segera memberhentikan Arief Hidayat adalah tindakan yang tidak tepat. Menurutnya, MKHK tidak bisa dibentuk untuk memberhentikan Arief, karena pembentukan MKHK atas usulan Dewan Etik kepada Mahkamah dalam hal hakim terlapor diduga melakukan pelanggaran berat atau mendapatkan teguran lisan dan/atau tertulis sebanyak tiga kali”. “Sedangkan Arief tidak dijatuhkan pelanggaran berat, hanya mendapat dua kali teguran lisan (sebagai pelanggaran ringan),” ujarnya.

 

Ilham mengatakan secara teori terdapat perkembangan sistem etika, yakni tahap teologis, tahap ontologism, tahap positivism dan tahap fungsional tertutup dan terbuka dalam tahapan peradilan etika. (Baca juga: 54 Profesor Ini Mendesak Arief Mundur dari Jabatannya)

 

Dia melanjutkan Dewan Etik wujud dari tahap etik secara fungsional. Menurutnya, secara prosedural Arief sudah mendapat teguran atas pelanggaran ringan yang dilakukannya. Secara fungsional Dewan Etik pun sudah membuktikan dan memberikan keputusan. Karena itu, secara nyata Arief sudah mempertanggungjawabkan perbuatannya. Artinya, adanya keputusan Dewan Etik berakhir pula permasalahan etika yang disangkakan padanya.

 

Dia menilai kisruh putusan MK terkait pengujian UU MD3 mengenai hak angket KPK akhir-akhir ini, sama sekali tidak melihat substansi pertimbangan Mahkamah, tapi hanya berdasarkan asumsi dan hanya dugaan.  Dugaan “sangkaan, perkiraan, taksiran” seharusnya didasarkan pada adanya bukti dan kenyataan. Dugaan yang tidak memiliki dasar atau menyimpang dari hal yang sudah dibuktikan kebenarannya. Kemudian dilontarkan dalam forum-forum umum dapat dikatakan perbuatan yang tidak beretika.

Tags:

Berita Terkait