UU MD3 dan Pergeseran Sistem Presidensial ke Parlementer
Kolom

UU MD3 dan Pergeseran Sistem Presidensial ke Parlementer

​​​​​​​Ironi menguatnya fungsi DPR yang tidak proporsional melalui UU MD3 ini, selain rentan menggeser sistem Presidensial ke sistem Parlementer, juga banyak menimbulkan kontroversi dalam penerapan hukumnya.

Oleh:
Erfandi
Bacaan 2 Menit
Erfandi. Foto: Dokumen Pribadi.
Erfandi. Foto: Dokumen Pribadi.

Demokratisasi yang terjadi di Indonesia dengan konsep trias politica-nya mengalami ujian maha berat. Pasca pengesahan UU tentang MPR, DPR RI, DPD dan DPRD yang kemudian dikenal dengan UU MD3 dalam rapat Paripurna Senin 12 Februari kemarin, gagasan Montesquieu dengan teori pemisahan kekuasaannya (saparation of Power) atau gagasan Ivor  Jennings dengan konsep pembagian kekuasaannya (devision of power) seakan-akan runtuh dengan menguatnya peran dan fungsi DPR.

 

Beberapa pasal dalam UU MD3 kembali memposisikan legislatif sebagai lembaga tinggi negara yang bisa memanggil paksa eksekutif, perusahaan bahkan setiap warga negara yang dianggap menodai kehormatan DPR melalui instrumen kepolisian. Hal ini menunjukkan adanya pergeseran presidensial ke parlementer dengan memperkuat kekuasaan legislatif melalui UU MD3. Dengan kata lain Presiden yang memiliki kekuasaan penuh dalam sistem presidensial sedikit demi sedikit digeser kekuasaannya oleh parlemen melalui kewenangan pemanggilan paksa oleh DPR dengan menggunakan instrumen eksekutif berupa kepolisian.

 

Konsep Trias Politika ini penting diterapkan di Indonesia sebagai negara hukum untuk menghindari dominasi antar lembaga. Pembagian kekuasaan negara ke dalam tiga organ penting, yaitu kekuasaan legislatif (pembuat undang-undang), kekuasaan eksekutif (pelaksana undang-undang), dan kekuasaan yudikatif (mengadili jika terjadi pelanggaran atas undang-undang) dimaksudkan untuk menciptakan check and balances dalam sistem ketatanegaraan. Sehingga antara DPR, Presiden dan Kehakiman memiliki peran yang seimbang untuk saling mengontrol dalam menjalankan tugas kenegaraannya sesuai dengan fungsi dan perannya masing-masing.

 

Tidak halnya dengan disahkannya UU MD3 ini. Selain tugas dan fungsi utamanya membuat undang-undang, legislatif dengan otoritasnya juga bisa berperan sebagai eksekutif melalui pemanggilan paksa terhadap warga negara yang dianggap merendahkan wibawa DPR. Bahkan dalam satu waktu, DPR juga bisa berperan sebagai yudikatif yang diperankan oleh Majelis Kehormatan Dewan (MKD) untuk memutus nasib anggota dewannya sendiri. Dalam hal ihwal seperti ini, Presiden tidak lagi menjadi satu-satunya lembaga eksekutif untuk memimpin pemerintahan, akan tetapi di sisi lain ada DPR yang juga bisa menjalankan dan menggunakan instrumen eksekutif dalam pemerintahan.

 

Di sisi lain, menguatnya sistem parlementer di atas presidensial juga bisa ditengarai dengan pengaturan hak imunitas DPR yang tidak dapat dijerat oleh KPK dan Kejaksaan yang merupakan instrumen eksekutif. Sejumlah aturan kontroversial mencuat untuk disahkan DPR bersama pemerintah dalam revisi UU MD3 di sidang paripurna. Di antaranya soal hak imunitas anggota DPR hingga aturan mempidanakan pihak yang merendahkan martabat DPR yang dilakukan oleh setiap warga tanpa terkecuali oleh eksekutif sendiri.

 

Semula, spirit UU MD3 ini menjadi payung hukum bagi parlemen untuk menambah kursi wakil ketua DPR dan wakil ketua MPR. Namun dalam perkembangannya, pengesahan UU MD3 ini juga mengarah pada persoalan bergesernya sistem ketatanegaraan dari Presidensial ke Parlementer.

 

Ironi menguatnya fungsi DPR yang tidak proporsional melalui UU MD3 ini, selain rentan menggeser sistem Presidensial ke sistem Parlementer, juga banyak menimbulkan kontroversi dalam penerapan hukumnya. DPR sebagai lembaga legislatif dalam UU MD3 ini bisa dikatakan menjadi penentu keberlangsungan roda pemerintahan dalam sistem demokrasi.

Tags:

Berita Terkait