3 Hambatan Eksekusi Putusan Perkara Perdata Keluarga
Berita

3 Hambatan Eksekusi Putusan Perkara Perdata Keluarga

Perma No. 3 Tahun 2017 bisa memberikan solusi. Penyuluhan hukum perlu terus dilakukan.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi sengketa perdata dalam keluarga (Ilustrator: BAS)
Ilustrasi sengketa perdata dalam keluarga (Ilustrator: BAS)

Anggota keluarga adalah orang terdekat dengan kita. Dalam keluargalah dibangun cinta dan kasih sayang antara suami dengan isteri atau antara orang tua dengan anak. Tetapi keluarga juga bukan tempat yang nihil kekerasan. Bukan pula tak muncul sengketa bidang perdata seperti gugatan, perceraian, itsbat nikah, dan pembagian waris. Masih ingat anak yang menggugat ibunya ke pengadilan gara-gara masalah utang, bukan?

 

Data yang dimiliki Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) bisa memperlihatkan potensi perkara yang berkaitan dengan keluarga. Sepanjang tahun 2017, ada 648 pengaduan yang masuk, terdiri atas 308 kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), 105 pelanggaran hak dasar, 77 perkara perdata keluarga, 37 kekerasan seksual, 35 pidana umum, 30 kekerasan dalam pacaran, 10 perdata umum, 2 masalah ketenagakerjaan, 2 kasus perdagangan manusia (human trafficking), dan 43 di luar kriteria yang ditetapkan LBH Apik.

 

Direktur LBH Apik, Siti Mazumah, mengatakan secara umum jumlah pengaduan turun dibandingkan tahun 2016. Saat itu, jumlah pengaduan mencapai 854. “Tetapi untuk kasus KDRT jumlahnya justru meningkat di tahun 2017,” jelasnya dalam paparan di Jakarta, pertengahan Februari lalu.

 

Siti menyoroti khusus kasus perdata keluarga. Sepanjang tahun 2017 ada 77 kasus yang ditangani LBH Apik, meliputi perceraian (30), nafkah anak pasca perceraian orang tua (24), hak asuh anak (10), iddah dan mut’ah (5), masalah waris (5), harta bersama (2), dan pembatalan perkawinan (1). Kasus perceraian tinggi karena berhubungan dengan perceraian. Salah satu pihak memilih bercerai daripada mengalami terus kekerasan dalam rumah tangga.

 

Dibantu LBH Apik, sejumlah korban sebenarnya menempuh upaya hukum ke pengadilan. Dari sejumlah perkara yang sudah masuk dan diputus pengadilan itu, Siti menyebut ada tiga hambatan yang ditemui selama ini. Pertama, sulitnya melakukan eksekusi terhadap putusan pengadilan untuk hak hak nafkah anak. "Sekalipun korban menang di pengadilan, tapi kemenangan itu hanya di atas kertas, sangat sulit untuk melakukan eksekusi," tegasnya.

 

Kedua, putusan tidak bisa dieksekusi (non-executable). Kondisi ini terjadi, misalnya, dalam kasus hak asuh anak. Walau dalam putusan pengadilan menyebut hak asuh diserahkan kepada ibunya, tetapi ayahnya tidak mau menyerahkan, malah membawa anak pergi. Upaya yang dilakukan biasanya mengajukan permohonan eksekusi ke pengadilan meskipun upaya ini membutuhkan biaya yang besar.

 

(Baca juga: Lemah, Penegakan Hukum Bagi Korban KDRT)

 

Ketiga, putusan pengadilan tidak dijalankan secara sukarela. Siti menyebut tidak ada sanksi pidana bagi pihak yang menolak melaksanakan putusan pengadilan perdata. Jika korban melaporkan mantan suaminya karena tidak melaksanakan putusan pengadilan, pihak kepolisian tidak mau menerima laporan dengan alasan pelaku adalah orang tua kandung anak atau bukan kewenangan kepolisian karena itu masuk ranah perdata keluarga.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait