Polemik Revisi UU MD3, Presiden Disarankan Agendakan Revisi Kembali
Berita

Polemik Revisi UU MD3, Presiden Disarankan Agendakan Revisi Kembali

Atau menerbitkan Perppu dengan menghapus pasal-pasal kontroversi dalam UU Perubahan Kedua atas UU MD3 ini.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Gedung MPR/DPR/DPD. Foto: SGP
Gedung MPR/DPR/DPD. Foto: SGP

Adanya kemungkinan Presiden Joko Widodo tak menandatangani Revisi UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (MD3) yang baru disahkan DPR sebagai bentuk penolakan. Sebaliknya, dengan mendorong masyarakat melakukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) menunjukan tidak bertanggung jawabnya pemerintah atas UU yang sebelumnya telah dibahas dan disetujui bersama DPR.

 

“Sikap pemerintah, tidak ada itikad baik untuk bertanggung jawab atas permasalahan yang dihasilkannya sendiri,” ujar peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Fajri Nursyamsi saat dikonfirmasi di Jakarta, Jumat (23/2/2018). Baca Juga: Mengurai Pasal Revisi UU MD3 yang Dipersoalkan

 

Menurutnya, seyogyanya presiden melalui Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H Laoly seharusnya turut bertanggung jawab atas polemik sejumlah pasal-pasal dalam revisi UU MD3 tersebut. Sebab, pemerintah yang diwakili Menkumham turut serta dalam pembahasan pasal per pasal hingga akhirnya memberi persetujuan di tingkat pertama dan kedua.

 

“Pembahasan sebuah RUU hingga disahkan menjadi UU menjadi tanggung jawab DPR dan pemerintah sesuai Pasal 20 ayat (2) UUD 1945,” ujar Fajri  

 

Kalaupun presiden melalui menkumham tidak menyetujui revisi UU MD3 yang baru disahkan itu semestinya dilakukan saat pembahasan tingkat pertama atau kedua. Sikap ini pernah dilakukan pemerintah saat menolak pembahasan RUU Pertembakauan yang diajukan DPR pada 2017 lalu.

 

Pada 2014, pemerintah pun pernah tidak melanjutkan pembahasan RUU Tabungan Perumahan Rakyat yang sebelumnya pembahasan berjalan alot. Hingga akhirnya RUU  Tabungan Perumahan Rakyat dibahas kembali sampai disahkan pada 2016. Pada 2012 pun pemerintah pernah menunda pengesahan RUU Pendidikan Tinggi karena ingin mempelajari lebih lanjut.

 

Dari peristiwa pembahasan RUU itu, kata Fajri, menunjukan posisi presiden begitu kuat. Hal itu menimbulkan konsekuensi pertanggungjawaban bersama antara DPR dan pemerintah terhadap setiap UU yang disahkan di parlemen. Menurut Fajri, kuatnya posisi presiden dalam pembentukan UU merupakan bentuk perwujudan perimbangan kekuasaan lembaga legislatif dan ekesekutif (check and balances).  

Tags:

Berita Terkait