Bolehkah Akta yang Mengikat Sebagai UU Diuji? Begini Pandangan Ahli
Berita

Bolehkah Akta yang Mengikat Sebagai UU Diuji? Begini Pandangan Ahli

Putusan ini meneguhkan, hanya UU yang proses pembentukannya sesuai Pasal 20 UUD Tahun 1945 yang bisa menjadi objek pengujian di MK.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES

Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan tidak menerima dan tidak berwenang (niet ovankerlijk verlaard/NO) atas pengujian Akta Persetujuan dan Kuasa berikut Pernyataan Bersama No. 06, 07, 08, 09 di Bidang Waris yang didalilkan mengikat sebagai Undang-Undang (UU), Selasa (20/3/2018) kemarin. Permohonan yang tercatat dengan nomor perkara 11/PUU-XVI/2018 ini dilayangkan oleh Haryanti dan Victorina Arif yang merupakan anak Haryanti melalu kuasa hukumnya, Amstrong Sembiring.

 

Alasannya, permohonan pemohon bukanlah objek pengujian UU terhadap UUD 1945 sebagai kewenangan MK yang disebut spesifik dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 jo Pasal 10 ayat (1) huruf a UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK sebagaimana telah diubah dengan UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK. Salah satu kewenangan konstitusional MK mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD Tahun 1945.

 

Sebelumnya, Pemohon mendalilkan pengujian Akta Persetujuan dan Kuasa itu, konstruksi hukumnya bertitik tolak pada asas konstitusionalitas dan kebebasan berkontrak yakni Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Menurut Pemohon, berlakunya akta tersebut dapat dipersamakan dengan UU pada umumnya dengan mengacu pada prinsip Pasal 1338 KUH Perdata dimana semua perjanjian/persetujuan yang disepakati (sesuai UU) berlaku sebagai UU bagi mereka yang membuatnya.

 

Pemohon mendalilkan hak konstitusionalnya terlanggar dengan adanya Akta Persetujuan dan Kuasa yang dibuat oleh notaris dan dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Sebab, Pemohon (Haryanti) anak kandung dari perkawinan Soeprapti dan Max Susanto adalah ahli waris sah dan berhak atas sejumlah harta peninggalan orang tuanya. Namun, telah terjadi penyalahgunaan dan manipulasi oleh saudara kandung Pemohon atas harta warisan itu. Penyalahgunaan tersebut, menurut Pemohon, terjadi akibat perbedaan penerapan antara Akta Persetujuan dan Kuasa dengan KUH Perdata.

 

Mahkamah berpendapat Akta Persetujuan dan Kuasa itu tidak termasuk kualifikasi UU dalam arti sebenarnya baik proses pembentukkannya maupun kekuatan hukum mengikatnya. Sebab, sebuah perjanjian atau kesepakatan bersama seperti didalilkan para Pemohon itu bersifat privat baik kepentingan maupun kekuatan mengikatnya sangat berbeda dengan bentuk dan proses pembentukan UU seperti diatur Pasal 20 UUD Tahun 1945 dan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.  

 

Itu hanya asas

Dimintai pandangannya, Direktur Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Fakultas Hukum Universitas Jember, Bayu Dwi Anggono mengatakan pengajuan uji materi ke MK harus terlebih dahulu memahami empat kewenangan MK yang termuat dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Salah satunya, menguji UU terhadap UUD Tahun 1945.

 

“Artinya, UU dalam arti formil, bukan materil. UU dalam arti formil ialah UU yang dibentuk sesuai Pasal 20 ayat (1) dan (2) UUD 1945,” kata Bayu saat dihubungi Hukumonline, (26/3/2018).

Tags:

Berita Terkait