Kalangan Advokat ‘Protes’ Larangan Tersangka DPO Ajukan Praperadilan
Utama

Kalangan Advokat ‘Protes’ Larangan Tersangka DPO Ajukan Praperadilan

Alasannya, SEMA No. 1 Tahun 2018 bertentangan dengan asas peradilan in absentia, bertentangan dengan KUHAP, dan melanggar hak-hak tersangka.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Gedung MA. Foto : ASH
Gedung MA. Foto : ASH

Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 1 Tahun 2018 tentang Larangan Pengajuan Praperadilan Bagi Tersangka Yang Melarikan Diri Atau Sedang Dalam Status Daftar Pencarian Orang (DPO) menuai keberatan atau protes dari kalangan advokat. Sebab, posisi advokat memiliki peran sentral dalam pengajuan permohonan praperadilan yang diminta kliennya.

 

Advokat senior yang juga Ketua Umum Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Luhut M.P. Pangaribuan menilai SEMA ini terlihat baik dalam hal seorang atau tersangka yang memiliki itikad buruk (karena berstatus DPO) untuk tidak mengajukan praperadilan. “Namun SEMA ini menjadi kurang baik bila dikaitkan dengan profesi advokat,” kata Luhut saat dihubungi Hukumonline, Rabu (4/4/2018).

 

SEMA No. 1 Tahun 2018 yang diteken Ketua MA M. Hatta Ali pada 23 Maret 2018 ini berisi dua poin penting. Pertama, dalam hal tersangka melarikan diri atau dalam status daftar pencarian orang (DPO), maka tidak dapat diajukan permohonan praperadilan. Kedua, jika permohonan praperadilan tersebut tetap dimohonkan oleh penasihat hukum atau keluarganya, maka hakim menjatuhkan putusan yang menyatakan permohonan praperadilan tidak dapat diterima.

 

Luhut menilai SEMA ini tidak menempatkan advokat sebagai penegak hukum. Sebab, seolah-olah advokat identik dengan kliennya yang terkesan memiliki itikad buruk lantaran klienya melarikan diri dan berstatus DPO. “Karena bisa saja seorang advokat tetap memiliki itikad yang baik. Jadi seharusnya dipisahkan antara advokat dan kliennya sebagai tersangka dalam SEMA ini,” kata dia.

 

Menurutnya, pengajuan praperadilan yang dikuasakan advokat yang dimohonkan kliennya sebagai tersangka yang melarikan diri atau berstatus DPO, seharusnya terlebih dahulu dilihat alasan argumentasi praperadilannya. “Artinya, tidak serta merta langsung dapat dinyatakan permohonan praperadilan tersebut diputus tidak dapat diterima,” kata dia.  

 

Belum lagi, dalam proses penegakkan hukum dikenal pengadilan in absentia, proses peradilan tanpa kehadiran terdakwa saat pemeriksaan pokok perkaranya. “Jadi, SEMA ini justru melemahkan proses peradilan in absentia yang mengakibatkanproses hukum tidak berjalan,” kritiknya. (Baca Juga: Pengertian Peradilan In Absentia)

 

Dia mengingatkan dalam UU Pemberantasan Tipikor, UU TPPU, dan UU lain memungkinkan peradilan tanpa kehadiran terdakwa dalam persidangan. Sebab, bila tidak dilakukan proses persidangan in absentia dalam kasus tersebut, maka akan menimbulkan kekosongan hukum atau menghambat proses penegakan hukum. “Sekali lagi, SEMA ini mengandung kelemahan bagi upaya penerapan peradilan in absentia,” tegasnya.

Tags:

Berita Terkait