MA Diminta Transparan Soal Judicial Review
Utama

MA Diminta Transparan Soal Judicial Review

Terasa aneh kalau peradilan hanya mengandalkan kekuatan do’a dan tidak ada proses lazim layaknya sebuah peradilan.

Oleh:
CR-25
Bacaan 2 Menit
Diskusi bertajuk “Transparansi Peradilan & Membenahi Persidangan Tertutup di Mahkamah Agung” yang diselenggarakan ICW, Senin (9/4). Foto: CR-25
Diskusi bertajuk “Transparansi Peradilan & Membenahi Persidangan Tertutup di Mahkamah Agung” yang diselenggarakan ICW, Senin (9/4). Foto: CR-25

“Ibaratkan berdoa kepada Tuhan, terserah tuhan akan mengabulkan atau tidak”. Begitulah proses pengujian aturan di bawah UU terhadap UU (Judicial Review) di Mahkamah Agung (MA). Kita tidak pernah tahu bagaimana proses pembahasan dan perkembangan perkara sejauh apa, dan kita juga tidak pernah tahu bagaimana proses pengambilan putusannya mengingat begitu tertutupnya persidangan tersebut digelar.

 

Mirisnya, tidak ada adu argumentasi antar para pihak layaknya yang kita saksikan pada pengujian UU terhadap UUD 1945 di Mahkamah Konstitusi (MK). Keresahan atas berbagai kejanggalan tertutupnya sidang Judicial Review (JR) di MA inilah yang membuat para pengamat mempertanyakan mengapa MA enggan untuk terbuka dan meringankan biaya perkara?

 

Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO), Feri Amsari, menyayangkan tertutupnya pola JR di MA. Sangat berbeda dengan pola di MK, kata Feri, sekalinya kita sudah mengajukan perkara berarti kita sudah siap bertarung argumentasi. “Seluruh bukti dan teori harus ditumpahkan di sana,” ujarnya dalam acara diskusi bertajuk “Transparansi Peradilan & Membenahi Persidangan Tertutup di Mahkamah Agung” di Sekretariat ICW, Jakarta, Senin (9/4).

 

Lain halnya dengan JR di MA ini, lanjut Feri, sejak pertama kita submit permohonan JR, tugas kita hanyalah berdoa sampai perkaranya selesai diputus. Menurutnya, menjadi ambigu ketika MA bertugas untuk memeriksa fakta-fakta sebuah perkara (judex factie), namun tidak memanggil atau mendengarkan keterangan para pihak.

 

“Jadi aneh kalau peradilan hanya mengandalkan kekuatan do’a dan tidak ada proses lazim layaknya sebuah peradilan, jika demikian bagaimana mungkin MA bisa memutus perkara berdasarkan hati nurani?” ujar Feri.

 

Peneliti ICW Tama Satrya Langkun juga menilai bahwa ketertutupan itulah yang menjadi sumber tidak dapatnya para pihak membela dirinya secara patut dan membuat MA juga tidak dapat mencerna perkara dengan baik. Tidak sampai di situ, kata Tama, baik NGO maupun Komisi Yudisial (KY) juga akan kebingungan mengawasi proses persidangan.

 

“Karena tertutup, jelas tidak ada pemantauan dari masyarakat terhadap jalannya persidangan,” kata Tama.

Tags:

Berita Terkait