Ahli Sebut Kewenangan MKD Langgar Konstitusi
Berita

Ahli Sebut Kewenangan MKD Langgar Konstitusi

Kewenangan MKD juga melanggar putusan MK No. 76/PUU-XII/2014.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES

Pengajar Hukum Tata Negara STHI Jentera Bivitri Susanti menilai Peran Majelis Kehormatan Dewan (MKD) dalam Pasal 245 dan Pasal 122 UU No. 2 Tahun 2018 tentang MD3 mengandung persoalan konstitusional yang pelik dan melanggar asas persamaan di depan hukum. Sebab, ada pergeseran peran MKD dari desain fungsi awal MKD yang merupakan penegakan kode etik anggota DPR.  

 

“Bergesernya peran MKD dari desain aslinya sebagai lembaga penegak kode etik anggota DPR yang tidak sesuai dengan Pasal 19 ayat (1), Pasal 20A ayat (1) UUD 1945 (konstitusi),” ujar Bivitri Susanti saat memberi keterangan sebagai ahli pemohon di sidang lanjutan pengujan UU MD3 di Gedung MK, Kamis (3/5/2018). (Baca juga: Konsekuensi Uji UU Tanpa Tanda Tangan Presiden)

 

Pasal 245 ayat (1) UU MD3 berbunyi “Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).”

 

Bivitri menilai norma Pasal 245 ayat (1) UU MD3 yang menghidupakan kembali kewenangan MKD untuk mempertimbangkan izin pemeriksaan anggota DPR oleh aparat penegak hukum sebelum keluarnya izin presiden, memperlambat proses hukum acara pidana sesuai KUHAP. “Aturan kewenangan MKD ini jelas melanggar putusan MK No. 76/PUU-XII/2014, yang menghidupkan kembali kewenangan MKD,” sebutnya.  

 

“Seharusnya fungsi MKD menjaga kehormatan dewan dengan memastikan pelaksanaan nilai-nilai etika yang benar, salah, baik, buruk bagi anggota dewan yang bersifat internal, bukan eksternal.”  

 

Seperti diketahui, putusan MK No. 76/PUU-XII/2014 terkait pengujian Pasal 224 ayat (5) dan Pasal 245 ayat (1) UU No. 17 Tahun 2014 yang menghapus “persetujuan MKD” dalam pemeriksaan anggota DPR yang diduga terlibat tindak pidana diganti “persetujuan presiden”. Namun, Pasal 245 ayat (1) UU Perubahan Kedua atas UU MD3 ini “menghidupkan” kembali peran pertimbangan MKD selain persetujuan presiden. 

 

Ahli pemohon lain, pengamat hukum tata negara, Margarito Kamis menilai pasal-pasal yang diajukan pengujian tidak memenuhi syarat sebagai norma hukum karena tidak memiliki makna tunggal. Sebab, normanya ini tidak bersifat objektif dan menunjukkan sifat personal, sehingga bertentangan dengan UUD 1945.  

Tags:

Berita Terkait