Koalisi Minta Pemerintah Jalankan Putusan Kasasi MA tentang Swastanisasi Air
Berita

Koalisi Minta Pemerintah Jalankan Putusan Kasasi MA tentang Swastanisasi Air

Koalisi mendapatkan informasi bahwa Pemerintah melalui Kementerian Keuangan mengajukan peninjauan kembali.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Kantor Walhi Jakarta. Foto: Sgp
Kantor Walhi Jakarta. Foto: Sgp

Organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ) mendesak pemerintah untuk menjalankan putusan MA No. 31 K/PDT/2017 mengenai privatisasi air di Jakarta. Eksekutif Daerah Walhi Jakarta, M Islah, mengatakan melalui putusan itu pemerintah diamanatkan untuk menghentikan kebijakan swastanisasi air minum di Provinsi Jakarta. Pemerintah Provinsi Jakarta diperintahkan untuk mengelola air minum sesuai dengan prinsip HAM dan Kovenan Ekosob.

Alih-alih menjalankan putusan yang diputus 10 April 2017 itu, pemerintah melalui Menteri Keuangan mengajukan peninjauan kembali (PK). Menurut Islah, putusan itu harusnya menjadi acuan bagi pemerintah untuk memperbaiki kebijakannya. Selaras itu pemerintah harus memutus kontrak dengan sejumlah perusahaan swasta yang selama ini mengelola air bersih di Jakarta. “Presiden Joko Widodo harus memerintahkan Menteri Keuangan, Sri Mulyani, untuk mencabut PK itu,” katanya dalam jumpa pers di Jakarta, Senin (7/5).

Deputi Hukum dan Kebijakan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Tigor Hutapea, menilai PK yang diajukan Menteri Keuangan ini sebagai upaya untuk melanggengkan swastanisasi air di Jakarta. Dalam memori PK, Tigor melihat dalil yang digunakan Menteri Keuangan bukan substansi yang baru, alasan serupa pernah disampaikan dalam persidangan sebelumnya. “Menteri Keuangan mempersoalkan prosedur gugatan Citizen Lawsuit (CLS),” ujarnya.

(Baca juga: Majelis Hakim Kabulkan Sebagian Gugatan Swastanisasi Air).

Menambahkan Tigor, pengacara publik LBH Jakarta, Arif Maulana, mencatat ada 3 poin yang diusung Menteri Keuangan dalam memori PK. Pertama, Menteri Keuangan menganggap pertimbangan hukum MA mengenai CLS yang diajukan koalisi bertentangan dengan karakteristik CLS di Indonesia. Kedua, majelis MA khilaf dan keliru dalam memutus perkara karena surat pemohon cacat hukum. Ketiga, CLS yang diajukan koalisi dinilai sebagai tuntutan perdata yang dicampur aduk dengan tata usaha negara (TUN).

Ketimbang melakukan PK, Arif menekankan pemerintah untuk menjalankan putusan MA guna memastikan pengelolaan air dilakukan oleh pemerintah. Apalagi putusan MK bernomor 85/PUU-XI/2013 membatasi swasta dalam mengelola air, yakni ketika ada sisa pengelolaan. Walau pemerintah pusat lewat Menteri Keuangan melakukan PK, Arif meminta pemerintah provinsi Jakarta untuk mengabaikannya dan tetap menjalankan amar putusan MA. Pemerintah Jakarta harus melakukan upaya untuk mengalihkan pengelolaan air di Jakarta dari swasta kepada pemerintah.

Selain itu Arif mencatat sedikitnya ada 6 kesalahan Menteri Keuangan dalam mengajukan PK. Pertama, lewat PK itu Menteri Keuangan secara langsung melawan rakyatnya sendiri dan konstitusi. Kedua, PK ini memperpanjang kasus swastanisasi air di Jakarta dan merugikan rakyat. Ketiga, meningkatkan jumlah kerugian negara dan memperpanjang penderitaan masyarakat Jakarta yang haknya atas air tidak terpenuhi.

Keempat, pengajuan upaya hukum luar biasa ini tergolong aneh karena Menteri Keuangan menguntungkan swasta daripada rakyatnya. Swastanisasi air di Jakarta memberi keuntungan bagi perusahaan air swasta. Kelima, Menteri Keuangan melupakan mandatnya sebagai kuasa anggaran dan bendahara negara. Harusnya mereka mengelola keuangan negara dengan prinsip efisien, efektif dan berkeadilan.

Tags:

Berita Terkait