Kasasi Andi Agustinus Tekankan Status Justice Collaborator
Berita

Kasasi Andi Agustinus Tekankan Status Justice Collaborator

KPK berharap hakim menghargai status JC yang diberikan kepada Andi Agustinus.

Oleh:
Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
Terdakwa kasus e-KTP Andi Agustinus saat menjalani sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta. Foto: RES
Terdakwa kasus e-KTP Andi Agustinus saat menjalani sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta. Foto: RES

Andi Agustinus alias Andi Narogong mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung atas vonis Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Pengadilan tingkat banding itu diketahui menghukum Andi dengan pidana 11 tahun penjara, 3 tahun lebih berat dari Pengadilan Tipikor Jakarta yang memutus selama 8 tahun.

 

Dalam keterangan tertulisnya, kuasa hukum Andi, Samsul Huda mengatakan kasasi itu sendiri diajukan pada 19 April 2018 lalu. Alasannya bukan karena kliennya ini tidak merasa bersalah, tetapi putusan PT DKI Jakarta dirasa belum memenuhi unsur keadilan.

 

Samsul keberatan dengan pertimbangan PT DKI yang menempatkan Andi sebagai pelaku utama tanpa pertimbangan yang cukup. Padahal, disisi lain hakim tinggi tetap menyatakan kliennya merupakan Justice Collaborator (JC).

 

"Hal itu jelas merupakan pertimbangan hukum yang saling bertentangan secara diametral. Mengingat berdasarkan SEMA No.4/2011 seorang Justice Collaborator sudah pasti bukan seorang Pelaku Utama," ujar Samsul, Rabu (9/5/2018). Baca Juga: Kalau 3 Terdakwa Status JC Dihukum Lebih Berat Bagaimana dengan Novanto

 

Samsul juga menolak kliennya disebut sebagai pelaku utama karena bukan merupakan pejabat yang mempunyai kewenangan menyusun ataupun mengendalikan proses anggaran dan pelaksanaan proyek e-KTP. Selain itu, Andi tidak mempunyai hak untuk mengurus ataupun dilibatkan langsung karena sepenuhnya menjadi urusan Pemenang Lelang, yakni Konsorsium PNRI.

 

Penambahan hukuman dari 8 menjadi 11 tahun yang diputus PT DKI juga dianggap tidak memiliki dasar pertimbangan yang memadai. Sebab, pertimbangan yang diambil hakim tinggi mengambil alih seluruh pertimbangan hukum dari pengadilan tingkat pertama.

 

"Hal ini sangat tidak adil bagi klien kami. Sebagai Justice Collaborator sebagaimana ditegaskan sendiri oleh Putusan PT DKI No. 5 ataupun Putusan PN Jakpus No.100 yang diambil alih pertimbangan hukumnya oleh Putusan PT DKI, seharusnya klien kami menurut keadilan, hukum, perundang-undangan, maupun konvensi internasional yang telah diratifikasi menjadi undang-undang, diperingan hukumannya," jelas Samsul.

Tags:

Berita Terkait