Komnas HAM Temukan Tiga Potensi Pelanggaran HAM Dalam Pilkada 2018
Berita

Komnas HAM Temukan Tiga Potensi Pelanggaran HAM Dalam Pilkada 2018

Mulai dari pelanggaran terhadap hak warga untuk memilih, ujaran kebencian, dan pemenuhan hak kelompok rentan.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Komnas HAM di Jalan Latuharhari Jakarta. Foto: HOL/SGPSGP
Komnas HAM di Jalan Latuharhari Jakarta. Foto: HOL/SGPSGP

Penyelenggaran Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2018 di 6 daerah yaitu Sumatera Utara, Jawa Barat, jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Timur di pantau Komnas HAM. Anggota Tim Pemantau Pilkada 2018 Komnas HAM, Amiruddin Al Rahab, mengatakan hasil pemantauan itu menunjukan sedikitnya ada 3 potensi pelanggaran HAM dalam persiapan penyelenggaraan Pilkada 2018.

 

Pertama, potensi hilangnya hak pilih warga negara yang berusia 17 tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin karena belum memiliki KTP elektronik atau Surat Keterangan. Salah satu pra syarat terpenuhinya hak pilih dan memilih yakni terdaftarnya warga negara sebagai pemilih dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT). KPU RI telah menetapkan jumlah DPT Pilkada 2018 sebanyak 150.664.967 pemilih. Namun, berdasarkan informasi yang diberikan Dirjen Dukcapil Kementerian Dalam Negeri ada 6,7 juta penduduk berusia 17 tahun atau sudah menikah tapi belum memiliki KTP elektronik atau belum melakukan perekaman.

 

Amiruddin menjelaskan temuan Komnas HAM di Sumatera Utara ada 814 ribu penduduk yang belum memiliki KTP elektronik dan belum melakukan perekaman, Jawa Barat 923.925, Jawa Tengah 829.823, Jawa Timur 752.544, Kalimantan Barat 244.609, dan Kalimantan Timur 117.186. Merujuk UUD RI 1945 dan UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM, hak memilih adalah hak asasi setiap orang yang harus dipastikan oleh pemerintah agar bisa digunakan oleh setiap warga negara.

 

Pasal 56 ayat (1) UU No.1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu No.1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi UU yang telah diperbarui lewat UU No.10 Tahun 2016 mengatur warga negara Indonesia yang berumur 17 tahun atau sudah/pernah menikah pada saat hari pemungutan suara mempunya hak untuk memilih. Tapi pasal 57 UU No.10 Tahun 2016 mengatur untuk dapat menggunakan hak memilih, warga negara harus terdaftar sebagai pemilih. Jika tidak terdaftar sebagai pemilih, pada saat pemungutan suara menunjukan KTP elektronik.

 

(Baca juga: Pelaksanaan Perpres RANHAM Harus Fokus Wujudkan Nawacita)

 

Mengacu ketentuan itu Amiruddin mengatakan ada hambatan bagi warga negara Indonesia yang telah memenuhi syarat sebagai pemilih tapi tidak bisa menggunakan hak pilih karena tidak terdaftar dalam DPT, belum memiliki KTP elektronik atau belum melakukan perekaman KTP elektronik. “Jika perekaman data KTP elektronik tidak bisa dilakukan cepat, Kementerian Dalam Negeri bisa melayangkan surat kepada Pemerintah Daerah setempat untuk menerbitkan surat khusus,” katanya dalam jumpa pers di Jakarta, Rabu (9/5).

 

Guna mengatasi masalah itu Komnas Ham mendorong Kementerian Dalam Negeri memerintahkan jajaran Dukcapil sampai tingkat daerah untuk menerbitkan KTP elektronik atau surat keterangan bagi 6,7 juta pemilih. Berkoordinasi dengan KPU dan Pemerintah Daerah untuk menetapkan kebijakan afirmatif bagi warga yang masuk kelompok rentan untuk memperoleh KTP elektronik dan Surat Keterangan. Persoalan ini perlu ditindaklanjuti serius oleh pemangku kepentingan untuk meminimalisir munculnya sengketa terkait penyelenggaraan Pilkada.

 

Komisioner Komnas HAM, Munafrizal Manan, menekankan kepada pemerintah untuk aktif melakukan perekaman data KTP elektronik. Jangan sampai ada warga negara yang tidak bisa menggunakan haknya untuk memilih. Menurutnya ketentuan yang menetapkan syarat KTP elektronik bagi pemilih untuk dapat menggunakan hak pilihnya harus direvisi. Jangan sampai ketentuan itu menghilangkan hak masyarakat untuk memilih. “Presiden bisa menerbitkan Perppu untuk mengganti norma tersebut atau melakukan pengujian terhadap Undang-Undang itu ke Mahkamah Konstitusi,” usulnya.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait