Judicial Review Non Litigasi dalam Perspektif Negara Hukum
Kolom

Judicial Review Non Litigasi dalam Perspektif Negara Hukum

​​​​​​​Judicial review terhadap peraturan perundang-undangan, tidak dapat dilepaskan dari konsep negara hukum, pemisahan kekuasaan negara dan check and balances.

Oleh:
Andryan
Bacaan 2 Menit
Andryan. Foto: Istimewa
Andryan. Foto: Istimewa

Sebagai negara yang berdasarkan atas hukum, segala dimensi kehidupan berbangsa dan bernegara harus berlandaskan dengan aturan (regulasi). Lembaga yang diberikan kewenangan dalam membuat regulasi, baik lembaga legislatif maupun eksekutif, tidak sedikit pula saling berbenturan antara satu regulasi dengan regulasi yang lain. Selama ini, apabila regulasi yang berbenturan dengan aturan yang lebih tinggi, maka mekanisme yang digunakan, yakni melalui pengujian materil (judicial review) secara litigasi. Maurice Duverger dalam Soehino (2000: 271), mengatakan bahwa judicial review dilakukan untuk menjamin agar peraturan perundang-undangan tidak menyimpang dari konstitusi maupun undang-undang.

 

Judicial Review adalah pengujian kepada produk hukum yang dilakukan oleh lembaga yudikatif atau peradilan. Lembaga ini memiliki kewenangan yang diberikan oleh konstitusi untuk menguji produk hukum yang dibentuk oleh lembaga legislatif. Kewenangan melakukan pengujian (judicial review) ini juga dipercaya dilakukan untuk menjalankan fungsi check and balances di antara lembaga pemegang kekuasaan negara. Penggunaan istilah judicial review lebih dikenal dalam masyarakat di Indonesia, sebenarnya lahir dari negara yang menganut asas sistem pemisahan kekuasaan (trias politica), di mana Amerika Serikat sebagai negara yang terkenal menggunakannya prinsip tersebut.

 

Menurut Jimly Asshiddiqie (2012: 2), judicial review merupakan pengujian melalui mekanisme lembaga peradilan terhadap kebenaran suatu norma. Judicial review mencakup pengujian terhadap suatu norma hukum yang terdiri dari pengujian secara materiil (uji materiil) maupun secara formil (uji formil). Dalam perkembangannya, judicial review di Indonesia dipegang oleh lembaga yudikatif yang terbagi dua yaitu oleh MA atau MK dengan tugas yang berbeda satu sama lain. MK menguji khusus undang-undang, sedangkan MA menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang.

 

Dalam tradisi Eropa Continental, pengujian hukum terpusat oleh satu badan yang dikenal dengan istilah centralized judicial review. Pengujian oleh lembaga khusus tersebut pertama kali diusulkan oleh Profesor Hans Kelsen. Menurutnya, dalam sebuah negara hukum, penting adanya pemusatan judicial review yang dipegang oleh satu badan khusus. Kelsen yang saat itu berperan dalam pembentukan konstitusi Austria, mencoba memperkenalkan adanya sebuah lembaga judicial review khusus yang dinamakan “verfassungsgerichtshof” atau Mahkamah Konstusi. (Jimly Asshiddiqie: 2012)

 

Judicial Review Non Litigasi

Menjadi persoalan jika judicial review yang selama ini menjadi ranah kekuasaan yudisial melalui mekanisme litigasi (peradilan), kini justru dilakukan oleh pemegang kekuasaan eksekutif secara non litigasi (di luar peradilan). Sebagaimana kita ketahui, beberapa waktu lalu pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumhan), membuat keputusan kontroversial dengan menerbitkan Peraturan Permenkumham Nomor 32 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Peraturan Perundang-undangan melalui Jalur Non Litigasi.

 

Ketentuan tersebut dapat disebut sebagai sidang judicial review ala Kemenkumham yang dilakukan melalui mekanisme non litigasi. Dalam Permenkumham, sengketa regulasi yang bisa digugat melalui mekanisme non litigasi di Kemenkumham, yaitu peraturan eksekutif di bawah Undang-Undang, seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, Surat Edaran Menteri, Perda, Peraturan Gubernur hingga peraturan di tingkat desa.

 

Ketentuan Pasal 2 Permenkumham 32/2017, bahwa mekanisme penyelesaian konflik antar peraturan perundang-undangan itu ditujukan untuk menyelesaikan persoalan pertentangan antar peraturan perundang-undangan, baik secara vertikal maupun horisontal yang menyebabkan timbulnya konflik norma hukum, konflik kewenangan antar kementerian/lembaga dan pemerintah daerah, menimbulkan ketidakadilan bagi masyarakat dan pelaku usaha, serta menghambat iklim investasi, usaha, dan kegiatan ekonomi nasional dan daerah di Indonesia.

Tags:

Berita Terkait