Putusan MK Soal Kuasa Wajib Pajak Sudah Tepat, tapi Masih Timbulkan Pertanyaan
Berita

Putusan MK Soal Kuasa Wajib Pajak Sudah Tepat, tapi Masih Timbulkan Pertanyaan

Persyaratan untuk melaksanakan hak dan kewajiban pajak merupakan ranah undang-undang, tidak boleh diperluas dan dibatasi oleh PMK. Meski demikian, terkait masalah kompetensi pajak, siapa yang berhak menguji kompetensi seseorang bisa menjadi kuasa WP.

Oleh:
M. Agus Yozami
Bacaan 2 Menit
Suasana diskusi mengenai 'Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi No.63/PPU-XV/2017 terhadap Kuasa Wajib Pajak' di Jakarta, Senin (14/5). Foto: RES
Suasana diskusi mengenai 'Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi No.63/PPU-XV/2017 terhadap Kuasa Wajib Pajak' di Jakarta, Senin (14/5). Foto: RES

Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengabulkan sebagian permohonan terkait pengujian Pasal 32 ayat (3a) UU No. 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) yang syarat dan pelaksanaannya diatur Menteri Keuangan. Putusan ini sekaligus membuka ruang bagi advokat untuk menjadi kuasa hukum wajib pajak yang sebelumnya hanya berlaku bagi konsultan pajak dan pegawai internal wajib pajak seperti diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 229/PMK.03/2014.

 

Managing Partner DDTC, Darussalam, berpendapat bahwa sudah tepat Putusan MK No. 63/PUU-XV/2017 yang menyatakan persyaratan untuk melaksanakan hak dan kewajiban pajak merupakan ranah undang-undang, tidak boleh diperluas dan dibatasi oleh Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Meski demikian, ia mempertanyakan terkait masalah kompetensi pajak, siapa yang berhak menguji kompetensi seseorang bisa menjadi kuasa wajib pajak (WP)?  

 

Untuk kasus pajak misalnya, apakah lembaga profesi tertentu yang hanya boleh menguji atau cukup perguruan tinggi saja yang memang didesain mendidik mahasiswanya untuk menjadi ahli pajak melalui beberapa tahapan yaitu proses seleksi, pembelajaran sekian tahun, dan proses ujian untuk dapat dikatakan lulus sebagai orang yang memahami pajak.

 

Menurut Darussalam, perguruan tinggi sebagai suatu lembaga yang akan menciptakan seorang yang paham pajak telah melalui proses akreditasi atau melalui standardisasi dan memang kredibel untuk melaksanakan proses menciptakan orang yang paham pajak. “Pertanyaan dasarnya apakah kita tidak mempercayai proses yang dilakukan oleh perguruan tinggi yang sudah terakreditasi untuk mencetak ahli pajak?” kata Darussalam.

 

Pertanyaan lain, kata Darussalam, bila ada sebuah lembaga apapun di luar perguruan tinggi diberi kewenangan untuk menguji kompetensi seorang layak atau tidak layak jadi kuasa WP, apakah lembaga tersebut memang lembaga yang layak untuk menguji? apakah lembaga tersebut mendapat kewenangan dari UU untuk melakukannya?

 

Darussalam mengingatkan bahwa menurut MK terkait pelaksanaan hak dan kewajiban pajak (termasuk kuasa WP) itu ranah undang-undang. Lantas, kata Darussalam, apakah lembaga tersebut sudah melalui pengujian kompetensi, seperti halnya perguruan tinggi melalui proses akreditasi untuk menyatakan seseorang layak atau tidak layak menjadi kuasa WP.  

 

“Lantas, apakah lembaga tersebut sudah melalui pengujian kompetensi, seperti halnya perguruan tinggi melalui proses akreditasi, utk menyatakan seseorang layak atau tidak layak?” kata Darussalam.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait