RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Penting Bagi Buruh Migran
Berita

RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Penting Bagi Buruh Migran

Karena UU PPMI tidak mengatur secara khusus ketentuan yang memberi perlindungan terhadap buruh migran dari ancaman kekerasan seksual.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Perlindungan buruh menjadi perhatian Pemerintah. Foto: RES
Perlindungan buruh menjadi perhatian Pemerintah. Foto: RES

Perlu upaya besar untuk memberi perlindungan terhadap buruh migran Indonesia yang bekerja di negara penempatan. Revisi UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia ke Luar Negeri (PPTKILN) menjadi UU No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) diharapkan mampu menjawab masalah perlindungan yang selama ini kerap dihadapi buruh migran.

 

Walau kalangan buruh migran menyambut baik terbitnya UU PPMI, tapi beleid yang diundangkan 22 November 2017 itu dinilai belum sempurna. Masih ada celah yang membuat posisi buruh migran rawan mengalami kekerasan seksual. Sekretaris Nasional Jaringan Buruh Migran (JBM), Savitri Wisnuwardhani, mendesak pemerintah dan DPR untuk segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual karena penting bagi perlindungan terhadap buruh migran.

 

Savitri mengatakan UU PPMI tidak mengatur secara khusus tentang perlindungan buruh migran dari ancaman kekerasan seksual. Peraturan itu lebih banyak mengatur tata kelola penempatan buruh migran. Padahal dalam pembahasan RUU PPMI di DPR, Koalisi Masyarakat Sipil sudah mengingatkan agar ketentuan terkait perlindungan dari kekerasan seksual ikut dituangkan dalam regulasi itu. “Kami menganggap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual penting untuk disahkan sebagai payung hukum perlindungan pekerja migran yang mengalmi kekerasan seksual,” katanya dalam jumpa pers di Jakarta, akhir pekan lalu.

 

(Baca juga: Komnas Perempuan Dorong Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual)

 

Menurut Savitri ketentuan yang melindungi buruh migran dari kekerasan seksual belum memadai. Posisi buruh migran sangat rawan karena sebagian besar perempuan dan bekerja di sektor domestik. Sekalipun buruh migran sudah bisa menjadi peserta program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKm) yang diselenggarakan BPJS Ketenagakerjaan, tapi manfaat yang diberikan tidak mencakup buruh migran yang jadi korban kekerasan seksual.

 

RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menurut Savitri cukup lengkap dalam menjelaskan bentuk-bentuk kekerasan seksual. Misalnya pelecehan seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkawinan, pelacuran, penyiksaan dan eksploitasi seksual.“Lewat RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini diharapkan bisa memperkuat perlindungan, dan mengisi celah hukum UU PPMI,” Savitri.

 

Direktur LBH FAS, Felixson, melihat kondisi UU PPMI sekarang sama seperti UU PPTKILN yakni masih terdapat celah hukum yang harus dibenahi. Ketika UU PPTKILN diterbitkan, banyak terjadi praktik perdagangan orang yang menjerat pekerja migran. Untuk membenahi hal tersebut koalisi masyarakat sipil mendesak pemerintah dan DPR untuk menerbitkan UU No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. UU TPPO hadir untuk menutup kelemahan yang ada dalam UU PPTKILN.

 

Sekarang, Felixson melihat UU PPMI masih mengandung kelemahan tentang perlindungan buruh migran dari kekerasan seksual. Oleh karena itu tepat jika pemerintah dan DPR membenahi hal tersebut dengan mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. “Migrasi kita di dominasi kaum perempuan, sebanyak 80 persen dari mereka dalam bekerja di posisi rentan yakni dirty, difficult, and dangerous,” paparnya.

Tags:

Berita Terkait