Internasionalisasi Pendidikan Tinggi Hukum
Kolom

Internasionalisasi Pendidikan Tinggi Hukum

​​​​​​​Hal yang akan menjadi kendala tambahan bagi sekolah hukum di Indonesia, karena internasionalisasi pendidikan itu harus memerhatikan UU No. 24 Tahun 2009.

Bacaan 2 Menit
E. Fernando M. Manullang. Foto: dokumen pribadi
E. Fernando M. Manullang. Foto: dokumen pribadi

Internasionalisasi pendidikan tinggi sekarang nampak dianggap menjadi agenda penting. Pemerintah sudah mengenalkan rencana mendatangkan tenaga pengajar asing. Publikasi ilmiah pun diarahkan go international. Sejumlah universitas di Indonesia pun bahkan telah menjalankan program internasionalisasi. Di antara pendidikan yang ditawarkan adalah pendidikan tinggi hukum.

 

Barangkali hal pertama yang akan dihadapi oleh lembaga pendidikan tinggi hukum, sebelum diinternasionalisasikan, adalah adanya dua ciri khas pendidikan tinggi hukum, khususnya di Indonesia, yang membedakannya dengan pendidikan tinggi pada umumnya.

 

Pertama, semenjak disepakatinya Perjanjian Westphalia (1648), sistem hukum tidak lagi berwajah “universal-internasional”, dalam arti berlaku di semua wilayah kekuasaan Romawi, karena kekuasaan yang demikian telah berakhir, dengan lahirnya konsep negara-bangsa. Sistem hukum mulai berwajah “partikular-nasional”, dalam arti, masing-masing negara yang baru lahir menetapkan yurisdiksi hukumnya sendiri-sendiri. Tak hanya itu, masing-masing negara pun kemudian tanpa hentinya mengembangkan proyek hukum nasionalnya. Proyek pengembangan sistem hukum nasional itu malah hingga sekarang masih terus berlangsung, apalagi di negara-negara yang sistem hukumnya masih belum mapan seperti di Indonesia, seperti usaha kodifikasi hukum pidana Indonesia yang terus diusahakan “berpisah” secara nyata dengan hukum pidana kolonial buatan Belanda.

 

Kedua, semenjak itu pula, pengetahuan hukum mulai juga bersifat “partikular-nasional”, dalam arti yang dipelajari adalah sistem hukum negaranya sendiri. Implikasinya, setiap lulusan pendidikan tinggi hukum, di atas kertas atau menurut undang-undang, hanya bisa menjalani profesi-profesi yang disediakan oleh negaranya masing-masing. Seorang sarjana hukum, tak otomatis dapat menjadi hakim atau jaksa di negara asing, begitu sebaliknya. Jikalau ada orang asing menjadi sarjana hukum, ia tak bisa menjadi advokat yang berpraktik di pengadilan, karena undang-undang hanya menyediakan kesempatan tersebut kepada setiap sarjana hukum yang berkewarganegaraan Indonesia. Ini menegaskan betapa pengetahuan ini amat bersifat “partikular-nasional”.

 

Bukti tambahan yang sederhana betapa pengetahuan ini bersifat “partikular-nasional”, dapat dilihat dari beberapa konsep dasar hukum. Kedaulatan (sovereignity) di tangan ahli hukum tidak hanya dilihat sebagai gagasan filosofis yang abstrak. Di tangan para ahli hukum, kedaulatan itu berdimensi administratif. Maka itu, bagi para ahli hukum, ide kedaulatan yang berwajah administratif itu disebut dengan sebutan jurisdiction. Selain itu, karena beragamnya sistem hukum, tidak hanya antarnegara, mereka pun mengenal konsep choice of law, yang memilih hukum mana yang berlaku di antara 2 atau lebih sistem hukum. Dari sini, kita bisa memahami arti partikularitas sistem hukum di tiap negara yang satu sama lainnya berbeda.

 

Pengalaman Belanda

Pengalaman Belanda pantas menjadi pelajaran berharga dalam program internasionalisasi pendidikan tinggi hukum mereka. Di Universitas Tilburg, mereka menamakan programnya sebagai LLB in Global Law. Program ini menghasilkan sarjana hukum (Legum Baccalaureus). Namun, program ini mempelajari sistem hukum yang tidak terikat yurisdiksi tertentu.

 

Begitu pula program LLB in International and European Law di Universitas Groningen dan The Hague University of Applied Sciences. Maka itu gelar akademik yang ditawarkan memiliki embel-embel “in Global Law” atau “in International and European Law”, bukan “in Dutch Law”, umpamanya.

Tags:

Berita Terkait