RUU Anti Terorisme Harus Menjamin Tegaknya Due Process of Law
Berita

RUU Anti Terorisme Harus Menjamin Tegaknya Due Process of Law

Perlu dibentuk sebuah lembaga pengawasan independen pencegahan tindak pidana terorisme dengan melibatkan unsur tokoh masyarakat, perguruan tinggi, ormas, mantan polisi dan TNI.

Oleh:
M Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Diskusi bertajuk Quo Vadis Revisi UU Anti Terorisme di Jakarta, Rabu (23/5). Foto: DAN
Diskusi bertajuk Quo Vadis Revisi UU Anti Terorisme di Jakarta, Rabu (23/5). Foto: DAN

Revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2013 tentang Tindak Pidana Terorisme (RUU Anti Terorisme) hampir rampung. Revisi ini diharapkan dapat memperbaiki kekurangan atau melakukan reformulasi yang lebih baik guna memberikan jaminan berjalannya prinsip due process of law dalam penegakan hukum tindak pidana terorisme. Hal ini diungkapkan oleh Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah dalam diskusi yang bertajuk Quo Vadis Revisi UU Anti Terorismedi Jakarta, Rabu (23/5).

 

PP Muhammadiyah menilai, draf RUU Anti Terorisme yang diserahkan Pemerintah ke DPR pada awal tahun 2016 lalu lebih menguatkan peran aparat penegak hukum untuk mengambil langkah-langkah penegakan hukum tanpa adanya pengawasan yang berimbang. Bahkan draf tersebut belum memberikan perlindungan terhadap pelaku tindak pidana terorisme sesuai dengan standar penegakan hukum.

 

Atas dasar itu PP Muhamadiyah menyerahkan masukannya terhadap RUU Anti Terorisme ke DPR. Sejumlah masukan tersebut misalnya, terkait prinsip kehati-hatian dalam pelibatan intelijen dan militer saat menanggulangi tindak pidana terorisme. Meskipun data intelijen dapat dijadikan sebagai alat bukti, namun menurut Ketua PP Pemuda Muhammadiyah, Dahnil Anzar Simanjuntak, hal ini harus mendapatkan verifikasi dari Ketua Pengadilan Negeri setempat.

 

“Pelibatan TNI harus disertai dengan unsur kehati-hatian. Hal ini dikarenakan ketentuan dalam UU pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dimaksudkan dalam koridor penegakan hukum yang tidak terlepas dari sistem peradilan pidana,” kata Dahnil.

 

Untuk itu, PP Muhammadiyah merekomendasikan beberapa hal. Pertama, perlu adanya restrukturisasi kelembagaan dalam penanganan pencegahan tindak pidana terorisme. Berkaca pada beberapa negara, penanganan diserahkan kepada beberapa lembaga yang diintegrasikan di bawah kementerian tertentu.

 

Hal ini bertujuan agar kewenangan penanganan pencegahan tindak pidana terorisme tidak bersifat parsial dan tanpa pengawasan. Di Indonesia tidak boleh ada lembaga yang memiliki kewenangan yang absolut karena cenderung menggunakan kekuasaan secara eksesif dan berpotensi melanggar hak-hak warga negara.

 

Baca:

Tags:

Berita Terkait