Reformulasi Keberadaan Peradilan Militer di Indonesia
Kolom

Reformulasi Keberadaan Peradilan Militer di Indonesia

​​​​​​​Merevisi UU Peradilan Militer, mulai memberikan  kewenangan kepada TNI untuk melakukan penyidikan khusus terhadap prajurit TNI yang melanggar dugaan tindak pidana umum, hingga membentuk jabatan baru Jaksa Agung Muda militer di bawah Jaksa Agung untuk diberi tugas melakukan penuntutan terhadap prajurit yang diduga melakukan tindak pidana di peradilan umum.

Bacaan 2 Menit
Reda Manthovani. Foto: dokumen pribadi
Reda Manthovani. Foto: dokumen pribadi

Sejatinya, peradilan militer berada di bawah naungan lingkungan Mahkamah Agung. Khususnya dalam melaksanakan fungsi kekuasaan kehakiman terhadap berbagai jenis-jenis kejahatan yang terkait dengan tindak pidana militer. Sedangkan peradilan di Indonesia, keberadaanya diatur konstitusi.

 

Keberadaan pengaturan peradilan di Indonesia, diatur dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945. Setidaknya pasal tersebut menegaskan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan perpadilan yang berada dalam lima lingkungan peradilan. Yakni, lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

 

Lantas, susunan, kedudukan, keanggotaan dan hukum acara Mahkamah Agung serta badan peradilan di bawahnya diatur dengan UU sebagaimana Pasal 24A ayat (5) UUD 1945. Sementara peradilan militer diatur melalui UU No.32 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Kewenangan peradilan militer berwenang dalam mengadili  tindak pidana (umum dan militer, red), tentunya yang tindak pidananya dilakukan oleh prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI).

 

Sedianya memang, KUHP Militer mengatur norma substantif tindak pidana yang dilakukan oleh militer maupun tindak pidana lain. Sebab hal tersebut berujung untuk membedakan penentuan kompetensi pengadilan. Khususnya,  yang dititikberatkan pada subjek atau pelaku tindak pidana.

 

Sayangnya dalam praktik pasca reformasi 1998 silam, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menerbitkan Ketetapan No.VI/2000 tentang Pemisahan TNI dan Kepolisian RI. Nah ketetapan MPR itulah menjadi landasan dasar pemisahan institusi Kepolisian dari TNI. Tak berhenti di situ, MPR kembali menerbitkan TAP MPR No.VII/2000 tentang Peran TNI dan Peran Kepolisian RI untuk memperkuat Ketetapan  VI/2000.

 

Menariknya, TAP MPR No.VII/2000 misalnya, khususnya tertuang dalam Pasal 4 ayat (4) gamblang mengatur prajurit TNI tunduk terhadap kekuasaan peradilan militer bagi mereka yang melakukan pelanggaran hukum militer. Pun demikian prajurit TNI tunduk pula terhadap kekuasaan peradilan umum, ketika melakukan pelanggaran hukum pidana umum.

 

Nah implementasi Pasal 3 ayat (4) huruf a TAP MPR No.VII/2000 diwujudkan melalui Pasal 65 ayat (2) dan (3) UU No.34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Ayat (2) menyebutkan, “Prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang”. Sedangkan ayat (3) menyebutkan, “Apabila kekuasaan peradilan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berfungsi, maka prajurit tunduk di bawah kekuasaan peradilan yang diatur dengan undang-undang”.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait