​​​​​​​UU Perkawinan Harus Sesuai dengan Konsensus Ideologi Negara Pancasila
Hukum Perkawinan Kontemporer

​​​​​​​UU Perkawinan Harus Sesuai dengan Konsensus Ideologi Negara Pancasila

Berbagai aspirasi terus berdatangan dari berbagai kelompok masyarakat untuk melakukan revisi UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan).  Sejumlah upaya melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi pun telah dilakukan. Salah satu ahli hukum perdata dan keluarga Islam yang hukumonline temui ikut memberikan pandangannya.

Oleh:
Normand Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit
Dosen hukum perdata dan keluarga Islam Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Wirdyaningsih. Foto: RES
Dosen hukum perdata dan keluarga Islam Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Wirdyaningsih. Foto: RES

Wirdyaningsih yang akrab disapa Nunung adalah dosen hukum perdata dan keluarga Islam di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI). Dosen perempuan ini telah lama menjadi pengampu berbagai mata kuliah bidang privat tersebut di FH UI. Tesis magister hingga disertasi doktor yang diselesaikannya fokus pada tema hukum Islam di bidang hukum privat yang berlaku di Indonesia.

 

Membicarakan UU Perkawinan tampak tidak dapat lepas dari tema hukum Islam. Dalam sejarah pembuatan UU Perkawinan ini pada 1974 silam terjadi tarik-menarik kepentingan dan nilai sosial yang dikompromikan di parlemen. Hasilnya, banyak pihak merasa UU Perkawinan bernafaskan hukum Islam.

 

Mulai dari pengaturan poligami, status kepala keluarga dalam rumah tangga, hingga klausula pamungkas yang menyatakan bahwa perkawinan sah jika dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan kedua mempelai dinilai banyak pihak diwarnai corak agama terutama hukum Islam.

 

Berikut adalah petikan wawancara hukumonline bersama Wirdyaningsih mengenai gagasan revisi UU Perkawinan.

 

Menurut anda, apakah revisi UU Perkawinan memang mendesak dilakukan saat ini?

Kalau menurut saya, sebelum kita maju ke depan untuk mengatakan apakah UU ini perlu direvisi atau tidak, baiknya kita lihat ke belakang. Itu adalah bagian dari kesepakatan. Dulu waktu awal kuliah tahun 1988, dosen saya Pak Sayuti Thalib mengatakan kesepakatan lahirnya UU ini memang tidak mudah. Tetapi kemudian menjadi UU yang khas dan disepakati, di mana UU itu mengatur ranah privat.

 

Orang menikah diatur dalam UU, diatur di wilayah Indonesia yang notabene agamanya banyak. Suku, agama, budaya yang berbeda-beda. Nah tentu nggak mudah membuat UU itu kan. Akhirnya satu kata kunci di dalam UU itu kemudian disepakati mengenai syarat sahnya perkawinan. Di pasal 2 ayat 1 bahwa perkawinan itu sah bila menurut agama dan kepercayaannya masing-masing. Itu kata kunci yang tepat sekali.

 

Kalau kita baca pasal per pasal, misalnya poligami, orang bisa saja bicara dari sudut pandang mana pun. Tapi kalau menurut satu agama tertentu itu adalah sah, hargai itu. Karena ini adalah ranah privat, orang akan bicara keyakinannya. Tidak mudah bicara HAM dan bias gender. Karena di sana ada norma keyakinan. Sebenarnya kunci itu saja yang kita pegang. Kalau menurut agama dan keyakinan anda tidak sesuai, ya sudah tidak sah.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait