Kewenangan Relatif Pengadilan Negeri dalam Mengadili Permohonan Praperadilan
Kolom

Kewenangan Relatif Pengadilan Negeri dalam Mengadili Permohonan Praperadilan

Perlu adanya payung hukum untuk menghindari perbedaan tafsir dan memberikan kepastian hukum yang lebih tegas dalam Hukum Acara Pidana atau dibentuk berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA).

Bacaan 2 Menit
Riki Perdana Waruwu. Foto: dokumen pribadi
Riki Perdana Waruwu. Foto: dokumen pribadi

Pengantar

Mahkamah Agung telah mengeluarkan Surat Edaran (SEMA) Nomor 1 Tahun 2018 tentang Larangan Pengajuan Praperadian Bagi Tersangka yang Melarikan Diri atau Dalam Status Daftar Pencarian Orang (DPO). SEMA ini menata ulang syarat formil permohonan praperadilan yang diajukan ke pengadilan negeri sehingga menempatkan hak dan tanggungjawab tersangka secara berimbang. Persoalan syarat formil lainnya yang menjadi diskursus di kalangan praktisi ialah mengenai kewenangan relatif pengadilan negeri dalam mengadili permohonan praperadilan.

 

Kewenangan relatif berarti kewenangan pengadilan negeri tertentu berdasarkan yuridiksi wilayahnya. Pada Bagian Kesatu “Praperadilan” Bab X KUHAP, PERMA/SEMA maupun perluasan makna praperadilan melalui beberapa Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tidak diatur ruang lingkup kewenangan relatif pengadilan negeri dalam mengadili permohonan praperadilan.

 

Kekosongan hukum ini, menimbulkan pertanyaan. Apakah pengadilan negeri yang berwenang menerima dan memutus permohonan praperadilan merujuk pada tempat terjadinya penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan? atau berdasarkan wilayah hukum kedudukan penyidik/penuntut umum yang melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, penghentian penyidikan, penghentian penuntutan, penetapan tersangka atau menyebabkan kerugian? Misalnya Penyidik Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Markas Besar (Mabes) POLRI yang berdomisili di Jakarta Selatan melakukan penangkapan tersangka pengedar narkotika di Bandung.

 

KUHAP, HIR/RBg dan Doktrin

Pengadilan negeri berwenang mengadili segala perkara mengenai tindak pidana yang dilakukan dalam daerah hukumnya sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 84 ayat (1) KUHAP. KUHAP tidak memberikan penjelasan mengenai maksud segala perkara mengenai tindak pidana namun Pasal 84 ayat (1) KUHAP memiliki 2 (dua) variabel yakni segala perkara dan mengenai tindak pidana sehingga konteksnya dimaksudkan terhadap pemeriksaan pokok perkara.

 

Selain itu, sistematika Pasal 84 ayat (1) KUHAP berada setelah ketentuan Pasal 77-83 KUHAP mengenai praperadilan artinya Pasal 84 ayat (1) tidak dapat merujuk pasal sebelumnya kecuali perintahkan secara tegas melalui pasal-pasal berikutnya sehingga ketentuan Pasal 84 ayat (1) KUHAP serta turunannya tidak dapat menjadi landasan mengadili praperadilan secara relatif.

 

Praktik hukum acara pidana membenarkan penggunaan hukum acara perdata dalam hal-hal tertentu sebagaimana dimaksud Pasal 101 KUHAP bahwa “Ketentuan dan aturan hukum acara perdata berlaku bagi gugatan ganti kerugian sepanjang dalam undang-undang ini tidak diatur”. Ganti kerugian yang dimaksud tidak berkaitan dengan proses praperadilan melainkan terkait dengan kerugian materiil yang diderita akibat tindak pidana.

 

Adapula doktrin oleh Yahya Harahap yang berpendapat “semua permohonan yang hendak diajukan untuk diperiksa oleh Praperadilan ditujukan kepada (1). Ketua pengadilan negeri yang meliputi daerah hukum tempat dimana penangkapan, penahanan, penggeledahan, atau penyitaan itu dilakukan atau diajukan kepada (2). Ketua pengadilan negeri tempat di mana penyidik atau penuntut umum yang menghentikan penyidikan atau penuntutan berkedudukan”.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait