Hukum Harta Perkawinan yang Berlaku Sesudah Diundangkannya UU Perkawinan (Jilid VIII)
Kolom Hukum J. Satrio

Hukum Harta Perkawinan yang Berlaku Sesudah Diundangkannya UU Perkawinan (Jilid VIII)

Artikel ini kelanjutan dari artikel sebelumnya yang minta kita untuk memperhatikan beberapa poin dalam surat petunjuk No. MA/Pem/0807/75, tertanggal 20 Agustus 1975, yang diberi judul: Petunjuk-petunjuk Mahkamah Agung mengenai pelaksanaan UU No. 1 tahun 1974 dan PP No. 9 tahun 1975.

Oleh:
RED
Bacaan 2 Menit
J. Satrio
J. Satrio

Mohon perhatian atas kata-kata “… tidak mencabut seluruh  ketentuan-ketentuan mengenai hukum perkawinan dalam KUH Perdata (BW), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (S 1933–74), Peraturan Perkawinan Campuran (S 1898–198), melainkan hanya sejauh telah diatur dalam UU ini” dan kata-kata “…. berarti bahwa tidak seluruh materi yang tercantum dalam UU No. 1 tahun 1974 sudah dapat diperlakukan oleh Pengadilan…..”

 

Serta kata-kata “…….harta benda dalam perkawinan, kedudukan anak, hak dan kewajiban antara orang tua dan anak serta perwalian, ternyata tidak diatur dalam PP tersebut karenanya belum dapat diperlakukan secara efektif dan dengan sendirinya untuk hal-hal itu masih diperlakukan ketentuan-ketentuan hukum dan perundang-undangan lama”.

 

Adapun yang dimaksud dengan “ketentuan-ketentuan hukum dan perundang-undangan yang lama” adalah hukum dan undang-undang -mengenai kedudukan anak, kekuasaan orang tua, perwalian dan hukum harta perkawinan- yang berlaku bagi masing-masing golongan penduduk sebelum berlakunya UU Perkawinan. Ketentuan-ketentuan itu tetap berlaku, sampai ada peraturan pelaksanaan mengenai hal itu dalam UU Perkawinan.

 

Khusus mengenai hukum harta perkawinan, hal itu berarti, untuk mereka yang tunduk pada BW tetap berlaku hukum harta perkawinan menurut BW dan bagi mereka yang tunduk pada hukum adat tetap berlaku hukum harta perkawinan adat dan bagi mereka yang termasuk dalam golongan timur asing bukan tionghoa tetap berlaku hukum harta perkawinan menurut hukum keluarga mereka.

 

Dari Surat Petunjuk Mahkamah Agung (MA) tersebut di atas, kita bisa menyimpulkan, bahwa menurut MA:

  1. belum semua ketentuan pokok dalam UU Perkawinan bisa dijalankan;
  2. masih ada ketentuan UU Perkawinan yang perlu peraturan pelaksanaan untuk bisa diterapkan dalam praktik;
  3. Hukum harta perkawinan dalam UU Perkawinan masih perlu peraturan pelaksanaan.

 

Ternyata MA pun beranggapan, bahwa dengan 4 pasal saja -maksudnya pasal yang mengatur hukum harta perkawinan- maka hukum harta perkawinan menurut UU. Perkawinan belum bisa dilaksanakan. Kalau toh dipaksakan berlaku, bisa kacau. Bahwa dari UU Perkawinan, sudah bisa disimpulkan adanya prinsip hukum harta perkawinan tertentu yang dianut, itu bisa diterima, tapi menjalankan semua ketentuan hukum harta perkawinan yang ada dalam UU Perkawinan -tanpa menunggu peraturan pelaksanaannya- belum bisa, kecuali kalau mau menerima akibatnya, kacau.

 

Kalau dalam Surat MA tersebut di atas dikatakan, bahwa “harta benda dalam perkawinan ……. belum dapat diperlakukan secara efektif dan dengan sendirinya untuk hal-hal itu masih diperlakukan ketentuan-ketentuan hukum dan perundang-undangan lama”, maka hal itu berarti, bahwa -sesuai dengan perundang-undang yang lama yang selama ini berlaku- untuk masing-masing golongan penduduk berlaku hukum harta perkawinannya sendiri-sendiri.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait