Revisi KUHP Perlu Adopsi Konvensi Anti Penyiksaan
Berita

Revisi KUHP Perlu Adopsi Konvensi Anti Penyiksaan

Guna mendukung penghapusan praktik penyiksaan.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi korban penyiksaan. Ilustrator: HGW
Ilustrasi korban penyiksaan. Ilustrator: HGW

Sejak 20 tahun lalu pemerintah telah meratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan lewat UU No. 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment. Walau telah lama meratifikasi konvensi antipenyiksaan dan ditopang beragam peraturan nasional berbasis hak asasi manusia, praktik penyiksaan masih terus terjadi di Indonesia dalam proses hukum.

Hasil pemantauan KontraS selama Juni 2017-Mei 2018 terdapat 130 kasus penyiksaan. Berbagai kasus itu dihimpun dari pemantauan terhadap pemberitaan di media dan advokasi yang dilakukan KontraS serta jaringannya di daerah.

Koordinator KontraS, Yati Andriyani, mencatat beberapa tahun terakhir jumlah kasus penyiksaan relatif konstan. Pola praktik penyiksaan juga masih sama seperti tahun sebelumnya, tujuannya untuk mendapat pengakuan dari korban, atau sebagai bentuk penghukuman. Tidak sedikit regulasi yang mengatur perlindungan dari praktik penyiksaan seperti konvensi Anti Penyiksaan, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 26 Tahun 2000  tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Internal Polri dan TNI menurut Yati juga punya peraturan terkait HAM, khususnya melarang melakukan praktik penyiksaan. Sayangnya, pelaksanaan berbagai aturan itu dirasa belum efektif.

“Selama dua dekade reformasi dan ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan, pemerintah belum serius menghapus praktik penyiksaan secara menyeluruh. Terlihat dari kebijakan yang ada belum mengatur secara khusus anti penyiksaan,” kata Yati dalam jumpa pers di Jakarta, Selasa (26/6).

(Baca juga: Inilah Penelitian Terbaru LBH Jakarta tentang Praktek Penyiksaan).

Menurut Yati regulasi yang ada selama ini sangat umum dalam mengatur anti penyiksaan. Misalnya pasal 33 ayat (1) UU HAM hanya menyatakan setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan. Bahkan dalam KUHP juga tidak ada defenisi khusus tentang penyiksaan, yang ada hanya penganiayaan.

Mengingat saat ini proses revisi KUHP masih dibahas pemerintah dan DPR, Yati mengusulkan agar ketentuan tentang antikekerasan disebutkan secara tegas dalam rancangan KUHP. Beberapa waktu lalu KontraS sudah menyampaikan masukan kepada pemerintah dan DPR. “Jika serius mau menghapus praktik penyiksaan, revisi KUHP harus mengadopsi konvensi Anti Penyiksaan,” ucapnya.

Selain itu Yati mendesak pemerintah dan DPR untuk segera meratifikasi protokol opsional konvensi Anti Penyiksaan (OPCAT). Dalam berbagai forum di PBB pemerintah Indonesia sering berjanji untuk meratifikasi OPCAT tapi sampai sekarang tak kunjung terwujud. Protokol itu menurut Yati sangat penting karena memberi panduan untuk menghapus praktik penyiksaan seperti mengatur mekanisme kunjungan ke lapas, penjagaan dan perlindungan di dalam tahanan, dan mekanisme penghukuman terhadap kasus penyiksaan. Dia yakin dengan meratifikasi OPCAT pemerintah akan sangat terbantu untuk menghapus praktik penyiksaan.

Tags:

Berita Terkait