MK Hapus ‘Panggil Paksa’ dan Pangkas Wewenang MKD
Utama

MK Hapus ‘Panggil Paksa’ dan Pangkas Wewenang MKD

Enam permohonan yang serupa dinyatakan tidak dapat diterima dengan alasan nebis in idem.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES

Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya mengabulkan sebagian uji materi Pasal 73 ayat (3), ayat (4), ayat (5) dan ayat (6), Pasal 122 huruf l, serta Pasal 245 ayat (1) UU No.  2 Tahun 2018 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3).

 

Dalam putusannya, MK menghapus kewenangan DPR melakukan pemanggilan paksa terhadap warga negara melalui bantuan kepolisian; menghapus kewenangan Majelis Kehormatan Dewan (MKD) melakukan langkah hukum terhadap masyarakat yang merendahkan kehormatan DPR; dan dalam konteks semata-mata pemanggilan dan permintaan keterangan anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana tidak diperlukan persetujuan MKD, tetapi tetap dengan persetujuan Presiden.

 

“Menyatakan Pasal 73 ayat (3), ayat (4), ayat (5) dan ayat (6), Pasal 122 huruf l UU MD3 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ucap Ketua Majelis MK Anwar Usman saat membacakan putusan bernomor No. XVI/PUU-XVI/2018 yang dajukan Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) di Gedung MK Jakarta, Kamis, (28/6/2018).

 

Anwar menuturkan frasa “Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden” dalam Pasal 245 ayat (1) UU MD3 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “dalam konteks semata-mata pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana.”

 

Sementara itu, frasa “setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan” dalam Pasal 245 ayat (1) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sehingga, Pasal 245 ayat (1) selengkapnya menjadi “Pemangilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR yang diduga melakukan tindakan pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden.”

 

Pengujian pasal-pasal ini juga dimohonkan Partai Solidaritas Indonesia (PSI); Zico Leonard Djagardo Simanjuntak dan Josua Satria Collins; Ketua Umum PB PMII Agus Mulyono Herlambang, Muhammad Hafidz dan Abda Khair Mufti; Osmas Mus Guntur, Andreas Joko, Elfriddus Petrus Mega melalui kuasa hukumnya Bernadus Barat Daya; Soelianto Rusli, Sandra Budiman, Tirtayasa melalui kuasa hukumnya Rinto Wardana. (Baca Juga: Tiga Poin Revisi UU MD3 Ini Akhirnya ‘Digugat’ ke MK)

 

Pada umumnya, para Pemohon mendalilkan pasal-pasal tersebut merupakan bentuk upaya menghadap-hadapkan institusi DPR dengan warga masyarakat selaku pemegang kedaulatan. Hal ini menjadi kontradiktif dengan desain konstitusional DPR yang dihadirkan sebagai instrumen untuk mengontrol perilaku kekuasaan (pemerintahan), bukan mengontrol perilaku rakyatnya. Karenanya, enam permohonan yang serupa itu dinyatakan tidak dapat diterima dengan alasan nebis in idem.  

Tags:

Berita Terkait