Batas Usia Pensiun untuk PHK dan Substitusi Hak “Pesangon” dengan Manfaat Pensiun Saat PHK Oleh: Umar Kasim (Jilid II)
Kolom

Batas Usia Pensiun untuk PHK dan Substitusi Hak “Pesangon” dengan Manfaat Pensiun Saat PHK Oleh: Umar Kasim (Jilid II)

​​​​​​​Pekerja/buruh yang diputuskan hubungan kerjanya karena telah mencapai usia pensiun, tidak memerlukan penetapan atau “izin” PHK, kemudian hak-hak pesangon dan/atau manfaat pensiun yang berkaitan dengan PHK tersebut timbul dengan sendirinya.

Oleh:
RED
Bacaan 2 Menit
Umar Kasim
Umar Kasim
  1. Penetapan PHK (“Izin PHK”) Karena Mencapai Usia Pensiun

Dalam undang-undang disebutkan, bahwa pemutusan hubungan kerja (PHK) adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dengan pengusaha[1].

 

Selanjutnya, menurut Prof. Iman Soepomo, S.H. (Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja), bahwa salah satu -klasifikasi- alasan pemutusan hubungan kerja (PHK) adalah putus demi hukum (van rechtswege). Yang dimaksud oleh Prof. Iman Soepomo, bahwa hubungan kerja putus demi hukum, adalah putus dengan sendirinya (automatically putus) tanpa diperlukan adanya tindakan salah satu pihak, buruh atau majikan, yang ditunjukkan untuk itu [2].

 

Di samping itu, dalam Pasal 154 huruf c UU No.13/2003, menyebutkan beberapa jenis PHK yang putus dengan sendirinya (automatically putus) tanpa diperlukan adanya penetapan (“izin”) PHK, yakni -antara lain–: pekerja/buruh yang masih dalam masa percoaan kerja (probation); pekerja/buruh mengundurkan diri (resign); pekerja/buruh -telah- mencapai usia pensiun -yang ditentukan- sesuai dengan ketetapan; dan pekerja/buruh yang meninggal dunia.

 

Dengan perkataan lain, dalam Pasal 154 huruf c UU No.13/2003, ditegaskan bahwa penetapan (“izin”) dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial tidak diperlukan dalam hal pekerja/buruh telah mencapai -batas- usia pensiun sesuai dengan ketetapan dalam PK, PP/PKB atau peraturan perundang-undangan.

 

Ketentuan tersebut sudah -telah- diatur dalam Pasal 2 ayat (2) huruf c jo Pasal 31 ayat (1) Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI Nomor Kep-150/Men/2000 tentang Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja Dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja Dan Ganti Kerugian Di Perusahaan (”Kepmen No.Kep-150/2000”) bahwa pekerja yang di-PHK karena mencapai usia pensiun yang ditetapkan tidak memerlukan izin (PHK).

 

Bahkan –hal tersebut- sudah di-state pada Instruksi Menteri Perburuhan Nomor 15/Inst/64 tertanggal 24 Desember 1964 dan -kemudian- Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja No.362/67 yang sejak awal telah ditegaskan, bahwa bilamana di Perusahaan yang bersangkutan ada Peraturan Pensiun (maksudnya, telah diatur mengani batas usia pensiun - BUP) dimana -telah- ditentukan, bahwa buruh sesudah masa-kerja atau usia tertentu dapat pensiun, maka dalam hal demikian, pemutusan hubungan kerja dapat dilakukan tanpa izin [3].

 

Dengan demikian pekerja/buruh yang diputuskan hubungan kerjanya karena telah mencapai usia pensiun, tidak memerlukan penetapan atau “izin” PHK, kemudian hak-hak pesangon dan/atau manfaat pensiun yang berkaitan dengan PHK tersebut timbul dengan sendirinya.

 

  1. Hak-hak Pekerja atau Buruh Yang di-PHK Karena Pensiun
  1. Hak “Pesangon

Dalam UU No.13/2003, salah satu alasan pemutusan hubungan kerja (PHK) antara pengusaha (employer) dengan pekerja/buruh-nya yang -telah- diatur, adalah PHK karena pekerja/buruh -telah- memasuki usia pensiun yang ditentukan (vide Pasal 167).

 

Terkait dengan ketentuan tersebut, berdasarkan Pasal 167 ayat (5) UU No.13/2003, bahwa apabila seseorang pekerja/buruh mengalami PHK karena mencapai batas usia pensiun yang ditentukan dan pengusaha tidak mengikut-sertakan pekerja/buruh dimaksud pada program pensiun, baik pada dana pensiun pemberi kerja –DPPK-, maupun pada dana pensiun lembaga keuangan – DPLK-, termasuk -saat ini- pada dana pensiun wajib Program Jaminan Pensiun Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (PJP-BPJS)*.

 

*Berdasarkan Pasal 167 ayat (6) UU No.13/2003, bahwa hak atas manfaat pensiun tidak menghilangkan hak pekerja/buruh atas Jaminan Hari Tua (JHT) yang bersifat wajib. Artinya hanya JHT yang dikecualikan untuk tidak diakumulasikan guna diperhitungkan (diperbandingkan) dengan “pesangon”. Namun untuk mempertegas hal tersebut, sebaiknya dicantumkan dalam PP/PKB sesuai amanat Pasal 167 ayat (4) UU No.13/2003. 

 

Maka pengusaha wajib memberikan hak-hak “pesangon” kepada pekerja/buruh yang bersangkutan, yang meliputi:

  1. uang pesangon (UP) sebesar 2 (dua) kali ketentuan -tabel- dalam Pasal 156 ayat (2) UU No.13/2003;
  2. uang penghargaan masa kerja (UPMK) sebesar 1 (satu) kali ketentuan -tabel- dalam Pasal 156 ayat (3) UU No.13/2003; dan
  3. uang penggantian hak (UPH) sesuai ketentuan -kondisi- dalam Pasal 156 ayat (4) UU No.13/2003, yang meliputi:
  • hak- cuti yang belum diambil dan belum gugur;
  • biaya ongkos pulang ke temapat pekerja/buruh ditereima bekerja;
  • “uang penggantian” sebesar 15% dari akumulasi UP dan UPMK (bila memenuhi syarat);
  • Hak-hak lain yang telah diperjanjikan dalam perjanjian kerja dan peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

 

Sesuai dengan ketentuan Pasal 167 ayat (1) UU No.13/2003, akumulasi hak “pesangon” dari unsur uang pesangon dan uang pengharagaan masa kerja adalah menjadi pembanding (yang diperhitungkan) terkait dengan hak atas seluruh nilai –present value- manfaat pensiun yang akan diterima peserta dana pensiun, baik pada DPPK, maupun DPLK serta JP-BPJS.

 

Sedangkan hak “pesangon” unsur uang penggantian hak tidak menjadi elemen yang dibandingkan, karena nilainya tidak stabil –dapat bertambah dan dapat berkurang- sesuai kesepakatan. Artinya, terdapat hal-hal yang dapat diatur dan diperjanjikan tersendiri oleh para pihak (pengusaha dengan pekerja/buruh, baik secara tersendiri maupun secara kolektif), sebagaimana dimungkinkan oleh Pasal 156 ayat (4) huruf d UU No.13/2003.

 

*Apabila “pesangon” elemen uang penggantian hak dicantumkan untuk dibandingkan, dan terdapat hal-hal yang diperjanjikan oleh pengusaha dengan (para) pekerja/buruh yang nota bene merupakan kewajiban pengusaha, maka jika diperbandingkan (diperhitungkan) akan merugikan entitas Dana Pensiun sebagai separate entity (terpisah) dari perusahaan sebagai business entity. Sehingga ketentuan Pasal 167 ayat (2) tidak pas.

 

 

  1. Substitusi Hak “Pesangon” dengan Manfaat Pensiun

Bilamana pekerja mengalami PHK karena mencapai batas usia pensiun yang ditentukan dan pengusaha -telah- mengikut-sertakan pekerja/buruh-nya pada -suatu- program pensiun (baik pada DPPK maupun pada DPLK) yang iuran/premi-nya dibayar penuh oleh pengusaha (disebut full contributory, atau non-contributory system), maka berdasarkan Pasal 167 ayat (1) UU No.13/2003, pekerja/buruh yang bersangkutan tidak berhak mendapat uang pesangon (UP) dan uang penghargaan masa kerja (UPMK) sesuai Pasal 156 ayat (2) dan (3) UU No.13/2003. Akan tetapi -hanya- berhak atas uang penggantian hak (UPH) sesuia ketentuan Pasal 156 ayat (4) UU No.13/2003.

 

Namun, ada 2 (dua) ketentuan pengecualiaan dari Pasal 167 ayat (1) UU No.13/2003 tersebut di atas, Dalam arti, pekerja/buruh kemungkinan masih berhak mendapat -sebagian- uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja dalam hal tertentu, yakni [4]:

  1. Sesuai ketentuan Pasal 167 ayat (2) UU No.13/2003, bahwa dalam hal besarnya jaminan pensiun atau akumulasi manfaat pensiun (sebagaimana dimaksud Pasal 167 ayat (1) UU No.13/2003 yang -non-contributory system) dan akan diterima sekaligus pada suatu program pensiun (setelah dijumlahkan atau berdasarkan pernyataan aktuaris) ternyata lebih kecil dari akumulasi uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketenutuan Pasal 156 ayat (2) UU No.13/2003 dan uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketenutuan Pasal 156 ayat (3) UU No.13/2003 serta uang penggantian hak sesuai ketenutuan Pasal 156 ayat (4) UU No.13/2003, maka selisihnya -akumulasi tersebut- tetap dibayar oleh dan menjadi kewajiban pengusaha (employer) [5];
  2. Berdasarkan Pasal 167 ayat (3) UU No.13/2003, bahwa dalam hal besarnya jaminan/manfaat pensiun yang akan diterima sesuai dimaksud Pasal 167 ayat (1) UU No.13/2003 yang pembayaran preminya merupakan contributory system antara pengusaha dan pekerja/buruh dan (jaminan atau manfaat pensiun dimaksud) akan diterima sekaligus, maka selisih akumulasi uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja yang disubstitusikan, hanyalah kontribusi (prosentase) premi dari pengusaha.  

 

Dalam Pasal 167 ayat (2) UU No.13/2003, tersebut kalimat “manfaat pensiun yang diterima sekaligus”. Makna kata “diterima sekaligus“ dimaksud, dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun (“UU No.11/1992”), bahwa terdapat 2 (dua) pengertian pembayaran yang akan diterima sekaligus, yaitu:

  • Pembayaran akumulasi manfaat pensiun dengan jumlah maksimum 20% (duapuluh persen) -untuk dibayarkan sekaligus- sebelum diperhitungkan dan dibayarkan secara berkala kepada peserta atau pihak yang berhak -sepanjang telah terlebih dahulu diatur dalam Peraturan Dana Pensiun [lihat Pasal 25 ayat (4) UU No.11/1992 jo Pasal 15 Peraturan OJK No.5/POJK.05/2017]; dan
  • Pembayaran akumulasi manfaat pensiun -untuk dibayarkan sekaligus- jika jumlahnya lebih kecil dari suatu jumlah tertentu yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan (saat ini, oleh Otoritas Jasa Keuangan “OJK”) yang dimaksudkan untuk menghindari penatausahaan jumjah (manfaat pensiun) yang -nilainya- kecil untuk jangka waktu yang lama [lihat Pasal 25 ayat (3) UU No.11/1992]. 

 

Dengan perkataan lain, pembayaran manfaat pensiun yang dapat dibayarkan (diterima) secara sekaligus, ada 2 (dua) pengertian, yakni:

  • pembayaran manfaat pensiun sebesar 20% (duapuluh persen) dari akumulasi manfaat pensiun (seluruhnya) selama kepesertaan -termasuk pengembangannya- sebelum dihitung dan dibayarkan secara berkala; atau
  • pembayaran manfaat pensiun yang diterima seluruhnya dan sekaligus karena -jumlahnya- lebih kecil atau sama dengan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan (cq. oleh  Otoritas Jasa Keuangan) dari waktu ke waktu.

 

Dalam konteks hak manfaat pensiun yang diperhitungkan (diperbandingkan) dengan pesangon, yaitu akumulasi manfaat/jaminan pensiun yang pembayarannya diterima sekaligus sebagaimana dimaksud Pasal 167 ayat (2) dan (3) UU No.13/2003, adalah present value (nilai sekarang dari manfaat pensiun), -yang merupakan- suatu jumlah tertentu yang ditetapkan dari waktu ke waktu oleh Menteri Keuangan.

 

Sebagaimana tersebut dalam Pasal 25 ayat (3) jo Pasal 47 ayat (1) UU No.11/1992 dan -telah- ditentukan dalam Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 343/KMK.017/1998 tentang Iuran Dan Manfaat Pensiun sebagaimana telah diubah terkahir dengan Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 50/PMK.010/2012 tentang Perubahan Ketiga Atas Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 343/KMK.017/1998 tentang Iuran Dan Manfaat Pensiun.

 

Masing-masing sesuai dengan jenis program Dana Pensiun-nya, yaitu:

  1. Dalam hal manfaat pensiun yang akan dibayarkan perbulan dalam program pensiun manfaat pasti (PPMP), alternatif pembayarannya diatur sebagai berikut:
  1. Apabila dengan rumus bulanan (RB), present value-nya kurang dari Rp 1.500.000,- (satujuta lima ratusribu rupiah), maka dapat dibayarkan sekaligus;
  2. Jika menggunakan rumus sekaligus (RS), present value-nya kurang dari atau sama dengan Rp 500.000.000,- (limaratus juta rupiah), maka dapat dibayarkan sekaligus;
  3. Apabila telah diterima per-bulan oleh pensiunan, janda/duda atau anaknya, yang besarnya kurang atau sama dengan Rp 1.500.000,- (satujuta lima ratusribu rupiah), present value dari manfaat pensiun yang belum dibayarkan tersebut, dapat dibayarkan sekaligus (PPMP-RB). 
  1. Dalam hal akumulasi manfaat pensiun yang yang menjadi hak peserta pada DPPK program pensiun iuran pasti (PPIP), kurang dari atau sama dengan Rp 500.000.000,- (limaratus juta rupiah), maka jumlah -akumulasi- iuran dan hasil pengembangannya dapat dibayarkan sekaligus.   

*)Umar Kasim, S.H. adalah dosen pada Sekolah Tinggi Hukum Militer “PTHM” Jakarta

 

Catatan Redaksi:

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline

[1] Dikutip dari Pasal 1 angka 25 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 

[2] Iman Soepomo, S.H, Prof., Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja, Penerbit Djambatan, Cetakan Kesembilan (edisi revisi) 2001, hal. 165. 

[3] Dikutip dari statement Prof. Iman Soepomo, Ibid, h.180.

[4] Dikutip dari surat Kepala Biro Hukum Nomor: B.372/Hk/2012 tanggal 13 Nopember 2012 perihal Pendapat hukum (legal opinion) Pasal 167 UU No.13 Tahun 2013 yang ditujukan kepada Pimpinan Divisi Kebijakan dan Pengembangan SDM PT. (Persero) Bank Rakyat Indonesia, Tbk., butir 4.

[5] Ketentuan Pasal 167 ayat (2) UU No.13/2003 ini tidak sejalan dengan Pasal 167 ayat (1) UU No.13/2003, karena Uang Penggantian Hak adalah kewajiban perusahaan untuk memenuhinya, sementara substitusi perhitungan (yang diperbandingkan) dengan pesangon, adalah kewajiban entitas Dana Pensiun.

Tags:

Berita Terkait