Peraturan KPU Diundangkan, Pakta Integritas Dibutuhkan
Berita

Peraturan KPU Diundangkan, Pakta Integritas Dibutuhkan

Jadi pedoman bagi penyelenggara pemilu di pusat dan daerah.

Oleh:
Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Gedung Komisi Pemilihan Umum di Jalan Imam Bonjol Jakarta Pusat. Foto: RES
Gedung Komisi Pemilihan Umum di Jalan Imam Bonjol Jakarta Pusat. Foto: RES

Perdebatan mengenai keabsahan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (Peraturan KPU) tentang larangan terpidana mencalonkan diri selesai sudah. Kementerian Hukum dan HAM secara resmi sudah mengundangkan Peraturan KPU No. 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten Kota. Pengundangan ini mengakhiri polemik antara KPU dengan Pemerintah.

 

Pada intinya, KPU ingin menyelenggarakan Pemilu secara bersih. KPU ingin agar mereka yang pernah dipidana dalam kasus tertentu tidak boleh mencalonkan diri sebagai wakil rakyat baik di tingkat pusat maupun provinsi dan kabupaten/kota. Larangan itu berlaku bagi terpidana kasus korupsi, narkotika, dan kejahatan seksual. Keinginan KPU ini didukung sejumlah elemen, termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi, Indonesia Corruption Watch, dan beberapa akademisi.

 

Awalnya Kementerian Hukum dan HAM bersama elemen lain menolak karena KPU dianggap tidak berwenang melarang seorang warga negara mencalonkan diri. Apalagi sudah ada putusan Mahkamah Konstitusi yang memperbolehkan terpidana maju sebagai calon anggota legislatif. Itu sebabnya, pada awalnya Kementerian menolak mengundangkan Peraturan KPU.

 

Tetapi Komisi Pemilihan Umum bersikukuh. Ketua KPU, Arief Budiman menilai tanpa tanda tangan Menteri Hukum dan HAM, Peraturan KPU tetap berlaku. Argumen ini sejalan dengan prinsip jika Presiden tidak menandatangani suatu Undang-Undang yang telah disetujui bersama DPR dan pemerintah, maka Undang-Undang itu berlaku dengan sendirinya setelah lewat dari 30 hari.

 

(Baca juga: KPU: Tanpa Pengesahan Menkumham, Peraturan KPU Tetap Berlaku)

 

Sikap KPU mempertahankan larangan itu berguna bagi pedoman penyelenggara di daerah. “Untuk menjadi pedoman bagi penyelenggaraan Pemilu, mulai dari KPU pusat, KPU Provinsi, sampai  KPU Kabupaten/Kota. Tapi memang membuat Peraturan efektif  itu harus diatur dan dituangkan dalam Peraturan yang mengatur tentang tindakan itu,” ujarnya di Komplek  Parlemen, Senin (02/7).

 

Tetapi, di mata ahli perundang-undangan, Bayu Dwi Anggono, Peraturan KPU tetap tunduk pada mekanisme baku pembentukan peraturan perundang-undangan. Pasal 1 angka 1 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan mengisyaratkan tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan. Tahapan dimaksud adalah perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan.

 

Dalam kasus Peraturan KPU, secara teori atau secara normatif, pembentukan Peraturan itu wajib mengikuti tahapan-tahapan: perancangan, penyusunan, pembahasan, menetapkan, dan pengundangan itu kewenangan Kemenkumham,” ujar Direktur Eksekutif Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Universitas Jember, Bayu Dwi Anggono kepada hukumonline, Selasa (03/7).

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait