Tak Tegas Definisikan Radikal, UU Terorisme Diuji
Berita

Tak Tegas Definisikan Radikal, UU Terorisme Diuji

Pemohon minta agar definisi terorisme ditafsirkan secara konstitusional bersyarat. Dan Majelis meminta permohon untuk menguraikan secara spesifik kerugian konstitusional yang dialami.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Penanganan aksi terorisme di Jakarta. Foto: RES
Penanganan aksi terorisme di Jakarta. Foto: RES

Mahkamah Konstitusi telah menggelar sidang perdana uji materi sejumlah pasal dalam UU No. 5 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang (UU Terorisme) di Ruang Sidang Panel MK, Rabu (11/7/2018).

 

Perkara yang teregistrasi Nomor 55/PUU-XVI/2018 ini dimohonkan oleh Zico Leonard Djagardo Simanjuntak (Pemohon I) dan William Aditya Sarana (Pemohon II) yang merupakan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Mereka menilai Pasal 1 angka 1, Pasal 43A ayat (3) huruf b, Bagian Ketiga, Pasal 43C ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), Pasal 43F huruf c, Pasal 43G huruf a (UU Terorisme) bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945. Sebab, pasal-pasal tersebut tidak memberi definisi radikal secara tegas.

 

William menyampaikan Pemohon I merupakan seorang Kristen Nasionalis yang sering membawakan firman Tuhan dalam beberapa persekutuan. Dia menilai UU a quo mengekang kebebasannya untuk menjalankan imannya secara utuh karena tidak memberi definisi radikal dan tidak secara ekplisit menyatakan terorisme bertentangan dengan Pancasila. Adapun Pemohon II selain berperan sebagai mahasiswa, juga merupakan calon anggota legislatif DPRD DKI Jakarta dari Partai Solidaritas Indonesia, sehingga berkepentingan memperjuangkan kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara.

 

“Oleh karena kerugian konstitusional yang telah dijabarkan telah nyata dialami para Pemohon, maka memiliki kedudukan hukum sebagai Pemohon pengujian undang-undang dalam perkara a quo,” urai William dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat dengan didampingi Hakim Konstitusi Saldi Isra dan I Dewa Gede Palguna seperti dikutip laman resmi MK. Baca Juga: Revisi UU Anti Terorisme Telah Disetujui DPR, Ini 6 Pasal yang Berpotensi Masalah

 

Leonard menuturkan UU Terorisme telah melahirkan paradigma radikal sebagai sesuatu yang negatif. Sehubungan dengan terorisme karena di dalamnya terdapat tindakan antiradikalisme dan deradikalisasi, namun tidak diberikan definisi mengenai radikal itu sendiri. “Karena tidak adanya definisi radikal yang jelas dalam UU a quo menimbulkan ketidakpastian hukum, sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945,” tegasnya.

 

Karena itu, Pemohon meminta agar Majelis Hakim menyatakan Pasal 1 angka 2 UU Terorisme sesuai dengan UUD Tahun 1945 secara bersyarat (conditionally constitutional), yaitu konstitusional sepanjang dimaknai “Terorisme adalah perbuatan yang bertentangan dengan Pancasila, menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan."

 

Kerugian konstitusional

Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna menyampaikan perlunya pihak Pemohon menyampaikan bunyi dari pasal-pasal yang diujikan. “Sebelum menguraikan kedudukan hukum dan sebelum masuk ke Pasal 51, di situ perlu dicantumkan bunyi dari pasalnya agar dapat lebih mudah menemukan keterkaitan pasal yang diuji dengan kerugian konstitusional yang diuraikan Pemohon,” saran Palguna.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait