14 Tahun UU SJSN, Pelaksanaannya Dinilai Belum Efektif
Berita

14 Tahun UU SJSN, Pelaksanaannya Dinilai Belum Efektif

Penguatan sanksi dan kewenangan termasuk materi muatan yang diusulkan.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Pengumuman tentang sanksi telat bayar iuran BPJS Kesehatan di salah satu rumah sakit. Foto: MYS
Pengumuman tentang sanksi telat bayar iuran BPJS Kesehatan di salah satu rumah sakit. Foto: MYS

Program jaminan sosial yang diselenggarakan BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan tidak akan berjalan tanpa UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). UU SJSN mengamanatkan pemerintah dan DPR untuk membentuk BPJS melalui Undang-Undang paling lambat lima tahun sejak UU SJSN diundangkan 19 Oktober 2004. Sayangnya, perintah pembentukan BPJS sebagaimana UU SJSN itu tidak sesuai waktu yang ditentukan. UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) baru diundangkan 25 November 2011.

Sejak diterbitkan 14 tahun silam sampai sekarang, implementasi UU SJSN dinilai belum efektif, begitu pula dengan UU BPJS. Ada sejumlah ketentuan UU SJSN dan UU BPJS yang harus disesuaikan dengan perkembangan keadaan, sekaligus membenahi berbagai kelemahan yang ditemukan selama Undang-Undang ini dijalankan. Begitulah sebagian kesimpulan yang dibacakan anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Zaenal Abidin, dalam diskusi bertema “14 Tahun UU SJSN, Dinamika Implementasi Program JKN, dan Urgensi Penguatan melalui Revisi,” yang digelar di Jakarta, Selasa (17/7).

(Baca juga: Pemindahan Kepesertaan BPJS Bisa Rugikan Faskes dan Peserta).

Perkembangan penting yang perlu diakomodasi dalam UU SJSN dan UU BPJS antara lain putusan MK terkait penyelenggaraan jaminan sosial. Zaenal juga menilai perlu menambah manfaat kembali bekerja dalam program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan program Jaminan Sementara Tidak Bekerja (JSTB); serta menambah ketentuan yang membentuk dua BPJS baru yang merupakan transformasi dari PT Taspen dan PT Asabri.

Perkembangan lain terkait regulasi. Perlu ada sinkronisasi dengan UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. UU SJSN dan UU BPJS perlu mengatur pelayanan kesehatan bagi anak berkebutuhan khusus dan penyandang disabilitas. Mencegah terjadinya benturan pelayanan dengan pelayanan kesehatan penyakit akibat kerja (PAK). Perlu juga menjelaskan mengenai kelas standar dalam pelayanan rawat inap sebagaimana tercantum di pasal 23 ayat (4) UU SJSN.

Kelemahan UU SJSN dan UU BPJS yang perlu dibenahi adalah harmonisasi materi muatan UU SJSN dan UU BPJS dengan asas-asas pembentukan dan materi peraturan perundang-undangan. Termasuk pula penguatan sanksi. “Memperjelas dan memperkuat sanksi terhadap ketidakpatuhan atas pemenuhan kewajiban yang ditentukan dalam UU BPJS,” kata Zaenal.

Direktur Kepatuhan, Hukum dan Hubungan Antar Lembaga BPJS Kesehatan, Bayu Wahyudi, menekankan penyesuaian paket manfaat yang diberikan kepada peserta. Manfaat pelayanan yang diberikan kepada peserta selama ini tergolong luas. Sebagaimana pasal 22 ayat (1) UU SJSN, manfaat jaminan kesehatan bersifat pelayanan perseorangan berupa pelayanan kesehatan yang mencakup promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif termasuk obat dan bahan medis habis pakai yang diperlukan.

(Baca juga: Penting Diketahui Peserta!! Dua BPJS Koordinasikan Manfaat JKN-JKK).

Menurut Bayu kondisi keuangan BPJS Kesehatan menurun tapi penyesuaian manfaat tidak berjalan. Penetapan manfaat, termasuk obat, belum disesuaikan dengan kemampuan BPJS Kesehatan. Untuk menjalankan program JKN-KIS butuh regulasi yang memberi kepastian peran dan fungsi BPJS kesehatan dalam penyesuaian manfaat.

Paling penting, BPJS Kesehatan membutuhkan regulasi yang membenahi besaran iuran agar bisa ditetapkan untuk setiap jenis program secara berkala sesuai perkembangan sosial, ekonomi, dan kebutuhan dasar hidup yang layak. “Permasalahan struktural yang mendasar dalam program JKN-KIS adalah iuran tidak sesuai perhitungan aktuaria sehingga perlu diusulkan kebijakan penyesuaian besaran iuran jaminan kesehatan pada segmen peserta PBI dan PBPU,” urai Bayu.

Menurut Bayu UU BPJS perlu mengatur ketentuan tentang kewenangan BPJS Kesehatan untuk menyesuaikan paket manfaat program JKN-KIS dengan mempertimbangkan kebutuhan medis dan kemampuan keuangan BPJS Kesehatan. Selainitu perlu mengubah Pasal 11 huruf d UU BPJS agar BPJS Kesehatan berwenang untuk membuat kesepakatan dengan asosiasi faskes mengenai besaran pembayaran pelayanan untuk faskes. Pasal 11 dimaksud memuat delapan kewenangan BPJS. BPJS berwenang ‘membuat kesepakatan dengan fasilitas kesehatan mengenai besar pembayaran fasilitas kesehatan yang mengacu pada standar tarif yang ditetapkan oleh Pemerintah”.

Bahkan pada huruf e Pasal yang sama disebutkan bahwa BPJS berwenang membuat atau menghentikan kontrak kerja dengan fasilitas kesehatan.

Tags:

Berita Terkait