Ada Penolakan Terhadap Konsep DKN tentang Penyelesaian Kasus HAM
Berita

Ada Penolakan Terhadap Konsep DKN tentang Penyelesaian Kasus HAM

Penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat sebaiknya diselesaikan melalui mekanisme pengadilan. Konsep DKN disinyalir melanggengkan impunitas.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Gedung Komnas HAM. Foto: SGP
Gedung Komnas HAM. Foto: SGP

Penuntasan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu terus berlarut. Padahal salah satu butir yang tercantum dalam Nawacita yakni Jokowi-JK berkomitmen menyelesaikan secara berkeadilan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang sampai sekarang masih menjadi beban sosial politik bagi bangsa Indonesia. Ada sejumlah kasus dugaan pelanggaran HAM berat yang disebut selama ini antara lain kerusuhan Mei 1998, Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II, penghilangan paksa aktivis, Talang Sari (Lampung), Tanjung Priok, dan Tragedi 1965-1966.

 

Pemerintah dan DPR sudah melakukan beberapa upaya untuk mengurai macetnya penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat itu. Misalnya, Komnas HAM telah menyelesaikan penyelidikan terhadap sejumlah perkara pelanggaran HAM berat. DPR telah menerbitkan 4 rekomendasi di tahun 2009 diantarnya meminta Presiden membentuk pengadilan HAM ad hoc dan mencari 13 aktivis yang masih hilang. Tapi ada inisiasi lain yang dilakukan pemerintah, misalnya menyelenggarakan Simposium 1965 pada medio 2016 dan rencana pembentukan Dewan Kerukunan Nasional (DKN).

 

Koordinator KontraS Jakarta, Yati Andriyani, mengatakan isu pembentukan DKN sudah digulirkan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Wiranto sejak beberapa tahun lalu. Sekarang wacana DKN bergulir kembali. Secara tegas Yati menyebut organisasinya yang selama belasan tahun ini mendampingi korban pelanggaran HAM berat dan keluarganya menolak konsep DKN. Lembaga itu disebut bakal digunakan untuk menangani penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu dengan cara musyawarah dan mufakat.

 

Menurut Yati konsep DKN tidak tepat untuk menyelesaikan perkara pelanggaran HAM berat. Dia yakin DKN tidak bisa menyelesaikan kasus pelanggaran HAM secara tuntas tapi bakal melanggengkan impunitas. Penyelesaian yang dilakukan harus mengacu peraturan perundang-undangan yang berlaku yakni UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM Ad Hoc. “Dalam UU Pengadilan HAM Ad Hoc tidak disebut wewenang Kemenkopolhukam untuk selesaikan kasus pelanggaran HAM. UU itu memberi kewenangan kepada Komnas HAM sebagai penyelidik dan Kejaksaan Agung sebagai penyidik dan penuntut umum,” kata Yati dalam jumpa pers di Jakarta, Kamis (19/7).

 

Peneliti Imparsial, Bhatara Ibnu Reza, menilai ada itikad tidak baik pemerintah dalam menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat. Itu terlihat dari wacana pembentukan DKN yang terus digulirkan Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenkopolhukam). Baginya penyelesaian melalui DKN tidak akan memberikan rasa keadilan menurut hukum terhadap para korban dan keluarganya. “Pemerintah harus menghentikan segala upaya bagi jalan pintas menuju impunitas,” ujarnya.

 

Bhatara mengatakan siapapun Presiden Indonesia, dia harus menuntaskan bermacam kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Presiden bertanggungjawab membentuk pengadilan HAM ad hoc untuk mengungkap fakta dan kebenaran. Jika kasus pelanggaran HAM berat tak kunjung diselesaikan, maka pemerintah bisa dianggap tidak menghormati HAM.

 

Keluarga korban tragedi Semanggi 1, Maria Katarina Sumarsih, mengingat Juli 2017 dan Januari 2018 Menteri Koordinator Polhukam, Wiranto, menggulirkan wacana pembentukan DKN. Sejak itu setiap aksi kamisan Sumarsih bersama Jaringan Solidaritas Korban Untuk Keadilan (JSKK) menolak rencana tersebut.

Tags:

Berita Terkait