Head of Agreement Freeport Tidak Mengikat Secara Hukum
Berita

Head of Agreement Freeport Tidak Mengikat Secara Hukum

HoA itu bukanlah perjanjian jual beli saham.

Oleh:
Fitri N. Heriani
Bacaan 2 Menit
kontrak, ilustrasi.
kontrak, ilustrasi.

Head of Agreement (HoA) yang ditandatangani antara PT Freeport Indonesia bersama dengan pemerintah beberapa waktu lalu menjadi topik pembicaraan hangat di publik. Pro dan kontra muncul ke permukaan sebagai reaksi masyarakat atas HoA. Yang mendukung menyambut gembira karena meyakini kendali Indonesia, melalui PT Indonesia Asahan Aluminium, atas Freeport melalui saham semakin kuat.

 

Sebaliknya, ada yang mengkritik HoA, terutama aspek pemahaman yang tak utuh tentang apa sebenarnya yang terjadi. Apalagi poin-poin detil kesepahaman kedua belah pihak tak dibuka ke publik. Dosen Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara (FHUI Untar), Ahmad Redi berpendapatangkat bicara. Menurutnya, HoA antara pemerintah dan FI tersebut hanyalah perjanjian pendahuluan. Sebagai perjanjian pendahuluan, maka HoA belum memiliki kekuatan hukum mengikat. “Kenapa? Karena perlu perjanjian teknis lainnya yang mengoperasionalisasi HoA ini, seperti perjanjian jual beli saham,” katanya kepada hukumonline, Selasa (17/7).

 

Redi menegaskan HoA bukanlah suatu perjanjian jual beli saham. Proses eksekusi atas akuisisi saham FI masih membutuhkan tahapan lain. Apalagi, isi HoA ini belum dibuka ke publik sehingga publik belum mengetahui pasti poin-poin kesepahaman yang dilakukan pemerintah bersama FI.

 

Untuk melakukan jual beli saham, lanjutnya, terdapat mekanisme lain di internal perusahaan. Misalnya, adanya Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), atau proses teknis akuisisi participating interest Rio Tinto menjadi saham. “Jangan menjadikan HoA seolah-olah kita sudah memiliki saham FI dan telah terjadi jual beli. Proses eksekusinya masih membutuhkan tahapan,” jelas pria peraih gelar doktor ilmu hukum itu.

 

Redi juga mempertanyakan alasan pemerintah memperpanjang kontrak FI hingga 2041 mendatang. Perpanjangan operasi FI melalui Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) tidak sesuai dengan ketentuan UU Mineral dan Batubara (Minerba). Jika merujuk UU Minerba, perseroan harus melalui beberapa tahapan agar bisa memperoleh IUPK. IUPK diperoleh melalui tahapan penetapan Wilayah Pencadangan Negara (WPN) yang disetujui oleh DPR dan lalu menjadi Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) yang ditawarkan ke BUMN. “Setelah itu baru bisa (IUPK-red) diperoleh oleh perusahaan swasta melalui lelang. Artinya, IUPK FI sampai dengan tahun 2041 cacat procedural,” paparnya.

 

(Baca juga: Langkah Pemerintah Terbitkan IUPK Sementara Freeport Dikritik)

 

Perpanjangan kontrak FI hingga tahun 2041 menimbulkan potensi pelanggaran hukum. Redi mengatakan, dalam Pasal 13, Pasal 17, Pasal 27, Pasal 32, Pasal 74, dan Pasal 83 UU Minerba, IUPK merupakan izin usaha yang diberikan berasal dari WIUPK. WIUPK berasal dari WPN yang ditetapkan oleh DPR. Sebelum ditawarkan kepada swasta, WIUPK harus ditawarkan kepada BUMN terlebih dahulu. Namun faktanya, IUPK yang didapatkan oleh FI dilakukan tanpa prosedur hukum sesuai UU Minerba.

 

Sementara itu terkait dengan divestasi saham sebesar 51 persen, Redi mengatakan terdapat masalah hukum yakni adanya pembelian saham yang dikonversi dari Participating Interest Rio Tinto ke FI oleh pemerintah. Jika merujuk kepada isi kontrak dan UU Minerba, Redi menilai hubungan hukum dalam divestasi saham hanya antara pemerintah dengan pemegang Kontrak Karya (KK) atau IUPK.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait