Dua Hal Ini Jadi Pedoman MK Putuskan Sengketa Pilkada
Sengketa Pilkada 2018:

Dua Hal Ini Jadi Pedoman MK Putuskan Sengketa Pilkada

Syarat pengajuan permohonan sengketa pilkada ini harus memiliki selisih 0,5 persen sampai dengan 2 persen dan ukuran TSM.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Suasana sidang sengketa pilkada di ruang sidang MK. Foto: RES
Suasana sidang sengketa pilkada di ruang sidang MK. Foto: RES

Mahkamah Konstitusi (MK) telah menerima sekitar 70 permohonan sengketa pemilihan kepala daerah (pilkada) yang dimohonkan pasangan (paslon) calon kepala daerah di berbagai daerah pasca digelarnya Pilkada Serentak 171 daerah yang terdiri dari 17 provinsi, 115 kabupaten dan 39 kota pada 27 Juni 2018 lalu. Jumlah permohonan ini lebih banyak dibanding permohonan sengketa pilkada pada 2017 yang berjumlah 50 permohonan.

 

Mulai Kamis (26/7), MK telah menggelar sidang pendahuluan 35 permohonan. Rinciannnya: 23 permohonan sengketa Pilkada Kabupaten Sinjai (2 permohonan), Bogor, Bangkalan (2 permohonan), Banyuasin, Subang, Lahat, Kerinci, Deiyai (2 permohonan), Padang Lawas, Bolaang Mongondow Utara, Sanggau, Tabalong, Belitung, Biak Numfor, Sumba Barat Daya, Pulang Pisau, Aceh Selatan, Rote Ndao (3 permohonan).

 

Lalu, 6 permohonan sengketa Pilkada Kota Gorontalo, Palembang, Padang Panjang, Baubau (2 permohonan), Madiun. Dan, 6 permohonan sengketa Pilkada Provinsi Lampung (2 permohonan), Sulawesi Tenggara, Papua, Sumatera Selatan, Maluku Utara.

 

Sementara sidang pendahuluan 35 permohonan lain digelar Jumat (27/7). Rinciannya: 25 permohonan sengketa Pilkada Kabupaten Dairi, Konawe, Pemekasan, Tapanuli Utara (2 permohonan), Timor Tengah Selatan, Cirebon, Parigi Moutong, Kolaka, Kepulauan Talaud, Bantaeng, Donggala, Pinrang, Mimika (5 permohonan), Memberano Tengah, Manggarai Timur, Puncak, Sampang, Maluku Tenggara, Kapuas, Alor. Lalu, 7 permohonan sengketa Pilkada Kota Pare-pare, Makassar, Cirebon, Tegal, Bekasi, Serang, Subulussalam, Palopo. Dan 1 permohonan sengketa Pilkada Provinsi Maluku.

 

Juru Bicara MK, Fajar Laksono Suroso mengatakan pedoman MK mengadili dan memutus sidang sengketa pilkada ini tetap mengacu Pasal 158 UU No. 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua UU Pilkada Persyaratan ini diatur dalam Pasal 158 UU No. 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua UU Pilkada. Pasal 158 UU Pilkada ini mengatur syarat pengajuan permohonan sengketa pilkada ini harus memiliki selisih 0,5 persen sampai dengan 2 persen sesuai jumlah penduduk daerah setempat dari total hasil rekapitulasi penghitungan suara sah yang ditetapkan KPUD setempat. 

 

Selain itu, MK berpedoman pada syarat ukuran terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) terhadap setiap dalil berbagai pelanggaran yang dituduhkan dalam penyelenggaraan pilkada. Misalnya, jika dalam sidang terbukti pasangan calon kepala yang digugat kemenangannya melakukan pelanggaran money politic secara TSM yang mempengaruhi hasil perolehan suara paslon. Fakta ini dapat menjadi alasan MK mengabulkan permohonan dengan memerintahkan pemungutan suara ulang atau diskualifikasi pasangan calon.            

 

“Jadi tidak semata-mata soal selisih suara, tetapi juga melihat dampak pelanggarannya apakah masuk TSM atau tidak? Ini menjawab (tudingan) bahwa MK bukan hanya Mahkamah kalkulator,” kata Fajar di Gedung MK Jakarta, Kamis (26/7/2018).

Tags:

Berita Terkait