Perbaiki Kinerja Legislasi DPR, Tantangan Bagi Advokat yang “Nyaleg”
Advokat di Pusaran Pemilu

Perbaiki Kinerja Legislasi DPR, Tantangan Bagi Advokat yang “Nyaleg”

Upaya mendorong peran advokat berikut sarjana hukum pada umumnya yang kelak akan terpilih dan duduk dikursi parlemen untuk menunjukkan kapasitasnya harus dilakukan.

Oleh:
Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Gedung DPR. Foto: RES
Gedung DPR. Foto: RES

Kinerja lembaga Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) khususnya di bidang legislasi, kerap mendapat sorotan publik. Fungsi legislasi berkaitan dengan jumlah dan kualitas peraturan perundang-undangan yang dihasilkan anggota Parlemen. Misalnya, hingga Juli ini, DPR dan Pemerintah baru menghasilkan antara lain UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, revisi UU tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD; serta UU tentang Karantina Hewan.

 

Dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2018, ada 50 RUU yang diproyeksikan untuk dibahas. Itu belum termasuk 4 RUU Prolegnas Kumulatif. Kinerja legislasi DPR tak akan banyak berubah karena sudah memasuki tahun politik. Saat ini, Komisi Pemiliha Umum sedang memproses ribuan calon anggota legislatif yang diusulkan partai politik. Dari jumlah itu, banyak calon berlatar belakang sarjana hukum atau advokat. Ini menjadi tantangan sekaligus menaruh harapan di pundak para calon anggota legislatif berlatar belakang hukum.

 

Forum Masyarakat Peduli Perlemen Indonesia (Formappi) mencatat mayoritas anggota Komisi III DPR (Bidang Hukum, HAM, dan Keamanan) adalah orang-orang yang memiliki latar belakang hukum. Jadi, peran mereka dalam menjalankan fungsi legislasi DPR sangat besar.

 

(Baca juga: Hanya Hasilkan 4 RUU, Kinerja Legislasi DPR Disebut ‘Kemalasan Terlembaga’)

 

Secara umum, jika melihat capaian kinerja legislasi DPR yang dinilai buruk, hal ini setali tiga uang dengan peran mantan advokat yang duduk di parlemen. Keberadaan mantan advokat yang duduk di DPR belum mampu memberikan dampak yang signifikan terhadap capaian kinerja legislasi. Menurut Formappi, advokat yang semestinya mampu mengefektifkan kerja-kerja pembuatan UU dengan bekal keilmuan hukumnya, gagal menjadi seperti yang diharapkan. Tentu tidak semuanya mantan advokat di DPR seperti.

 

“Saya kira para advokat ini yang mestinya di harapkan paling paham soal proses pembuatan legislasi juga gagal menunjukkan kemampuan mereka. Bahkan ketika satu komisi di DPR yang mayoritas di isi oleh anggota advokat, yaitu komisi 3, ternyata komisi ini yang paling rendah kinerjanya,” ujar peneliti Formappi, Lucius Karus, kepada hukumonline, Senin (23/7).

 

Advokat sebenarnya memiliki nilai lebih saat hendak mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif. Latar belakang keilmuan yang ada diharapkan memudahkan proses pembuatan undang-undang sehingga mampu meningkatkan kinerja legislasi di DPR. “Mereka paham dan mereka tidak perlu belajar lagi tentang bagaimana proses pembentukan legislasi. Jadi mestinya mereka bisa langsung terjun pada kerja-kerja pembentukan legislasi,” ujar Lucius.

 

Ada hal yang disinyalir menjadi penyebab tidak maksimalnya kinerja mantan advokat setelah menjadi anggota DPR. Berubahnya pola sikap dari seorang paktisi hukum menjadi seorang politisi menjadi salah satu penyebab kegagalan mantan advokat yang duduk di DPR menunjukkan kapasitasnya sebagai sarjana hukum. “Alih-alih mendorong kinerja legislasi, kehadiran banyak advokat di DPR membuat riuh rendah karena perdebatan yang kadang-kadang tidak substantif,” tegas Lucius.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait