Nasib pengelolaan Blok minyak dan gas bumi terbesar di Indonesia, Blok Rokan, Riau hingga saat ini belum diputuskan pemerintah. Padahal, pemerintah menjanjikan akan memberi kepastian mengenai pengelolaan Blok Rokan pada Juli ini.
Karena itu, sejumlah lembaga dan perorangan yang tergabung dalam Gerakan Rakyat untuk Kedaulatan Blok Rokan (GRKBR) meminta kepada pemerintah untuk mengambil alih Blok Rokan. Pasalnya, sekitar 50 tahun pengelolaan blok migas tersebut berproduksi, manfaatnya tidak dirasakan maksimal oleh masyarakat. Baca juga: Mempertanyakan Nasib RUU Migas yang Mandeg di DPR
Permintaan ini disampaikan, Pimpinan GRKBR dan Direktur Indonesia Resources Studies, Marwan Batubara saat melayangkan “Petisi Rakyat untuk Blok Rokan” di Gedung DPR RI, Jakarta, Senin (30/7/2018). Menurut Marwan, dengan berakhirnya kontrak Chevron, maka pemerintah seharusnya mengutamakan pengelolaan migas dalam negeri melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
“Sesuai amanat UUD 1945, setelah berakhirnya kontrak Blok Rokan dengan Chevron, maka pengelolaan Blok Rokan harus diserahkan kepada Pertamina,” kata Marwan.
Menurut Marwan, Pertamina sebagai perusahaan yang mewakili negara memiliki kesanggupan dari sisi sumber daya manusia dan penguasaan teknologi dalam mengelola Blok Rokan. Dia berharap pengelolaan penuh Blok Rokan oleh negara, maka manfaatnya bisa dirasakan langsung oleh masyarakat dan negara yang akan jauh lebih besar dibanding sebelumnya.
Meski termasuk blok migas tua, Blok Rokan menarik minat kontraktor migas. Besarnya produksi dan potensi Blok Rokan dapat terlihat dari data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) yang menyebut blok tersebut menghasilkan 207.148 barel per hari atau setara 26 persen produksi nasional. SKK Migas juga memperkirakan lifting minyak blok tersebut di akhir 2018 mencapai 205.952 bph atau sekitar 75 juta barel.
Dia menilai apabila pemerintah tetap menunjuk kontraktor asing sebagai pengelola Blok Rokan akan menghambat upaya ketahanan energi nasional. Padahal, lanjut Marwan, negara-negara penghasil migas justru mendorong perusahaan migas milik negara mengelola SDA migasnya sendiri.