Konsorsium Perempuan Jambi: Anak Korban Perkosaan Tak Layak dihukum
Berita

Konsorsium Perempuan Jambi: Anak Korban Perkosaan Tak Layak dihukum

Hukum di Indonesia dinilai belum berpihak bagi korban perkosaan yang menempatkan bahwa WA adalah pelaku aborsi yang harus menjalani pidananya di lapas.

Oleh:
M-27
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi korban perkosaan. Ilustrator: BAS
Ilustrasi korban perkosaan. Ilustrator: BAS

Kasus yang baru saja terjadi di Jambi yang menimpa WA (15) tahun,  korban perkosaan oleh kakaknya AR (17) tahun dan berujung aborsi telah diputuskan oleh Pengadilan Negeri Bulian dengan putusan 6 bulan penjara bagi WA dan selanjutanya menjalani hukuman dan menjadi narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Khusus Anak Sungai Buluh Muara Bulian Kabupaten Batanghari – Jambi.

 

Advokat Mirna Novita Amir dari Konsorsium Perempuan Jambi, dalam petisi kepada Pemerintah Jambi dan Pemerintah Kabupaten Batanghari menyatakan bahwa putusan tersebut menunjukan bahwa hukum di Indonesia belum berpihak bagi korban perkosaan yang menempatkan bahwa WA adalah pelaku aborsi yang harus menjalani pidananya di lapas tersebut.

 

“Vonis yang  diterima WA, hadiah terindah Anak Indonesia yang merayakan Hari Anak Indonesia yang jatuh pada tanggal 23 Juli 2018,” ujarnya.

 

Berdasarkan informasi dari penyidik di Polres Batanghari, pasal yang dikenakan adalah Pasal 77A UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Aborsi adalah tindakan yang bisa dikenakan pidana, sedangkan pada pasal 75 ayat 2 UU No.36 Tahun 2009 tentang kesehatan, Jo pasal 31 PP no 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi yang menyatakan bahwa aborsi boleh dilakukan bagi mereka yang hamil diperkosa, apalagi kehamilannya mengakibatkan trauma.

 

Dari hal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa sebenarnya hakim tidak dapat berpedoman hanya pada UU Kesehatan saja, tetapi seharusnya hakim berpedoman pada pasal 75 ayat (2) b, yaitu  “kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan dapat dikecualikan ” UU No. 36 Tahun 2009 Jo Pasal 31 PP 61 Tahun 2014 dan peraturan MA No 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili perkara perempuan yang berhadapan dengan hukum, selain itu pengadilan wajib mempertimbangkan hak-hak korban kekerasan seksual yang diatur dalam perlindungan saksi dan korban.

 

Menurut Mirna, dengan mempertimbangkan  yang terbaik untuk anak, WA  adalah korban perkosaan dan kekerasan yang dihukum dan ini  sangat berdampak serius pada masa depan  WA dan masa depan anak Indonesia umumnya. Oleh sebab itu, Konsorsium Perempuan Jambi yang tergabung dari organisasi yang peduli akan nasib korban yang terdiri dari gabungan beberapa organisasi di Jambi dengan dukungan aliansi nasional maupun internasional memberikan catatan dan rekomendasi untuk segera dilakukan:

 

  1. Memberikan pemulihan Hak Anak dan tidak menempatkan korban di Lapas Sungai Buluh, tetapi menempatkan korban di Panti Rehabilitasi Sosial yang sesuai untuk anak.
  2. Mendorong pemerintah untuk memfasilitasi sistem pelayanan dan penanganan korban kekerasan seksual (Perkosaan) dan mendapatkan layanan secara komprehensif.
  3. Mendorong pemerintah untuk segera memberikan Pendidikan Kesehatan Reproduksi bagi anak dan Remaja baik di setiap jenjang pendidikan sekolah  maupun diluar sekolah agar anak terpapar informasi yang baik dan benar atas kesadaran sendiri melaporkan kasus kekerasan seksual jika mendapatkan dan atau mengetahui tindakan kekerasan seksual di sekitarnya.
  4. Meminta Mahkamah Agung untuk memberi penguatan terhadap Hakim yang menangani kasus perempuan dan anak dapat memberikan putusan yang terbaik serta berpihak pada perempuan dan anak.
  5. Meminta kepada masyarakat dan pemerintah Desa Pulau kecamatan kabupaten Batanghari, untuk dapat menerima WA dan keluarga seperti semula.
Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait