Pakar Hukum Pertambangan Ini Kritisi Proses Divestasi Freeport
Berita

Pakar Hukum Pertambangan Ini Kritisi Proses Divestasi Freeport

Ahli hukum sangat berperan mengawasi uji legalitas setiap perizinan kegiatan operasi PTFI untuk mengetahui apakah operasi PTFI berlangsung sesuai regulasi yang berlaku.

Oleh:
M. Januar RIzki
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi Pertambangan. Foto: ADY
Ilustrasi Pertambangan. Foto: ADY

Proses pelepasan saham atau divestasi sebesar 51 persen antara PT Freeport Indonesia (PTFI) dan pemerintah melalui PT Inalum terus menjadi perhatian ahli hukum Indonesia. Sebab, kasus ini tidak hanya persoalan bisnis, tapi juga berimplikasi pada sejumlah permasalahan hukum khususnya mengenai keberlangsungan izin kegiatan pertambangan PTFI yang sudah bertahun-tahun bercokol di provinsi Papua itu.   

 

Persoalan itulah yang membuat Dewan Pimpinan Cabang Jakarta Selatan Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) mengadakan diskusi bertajuk “Menyoroti Divestasi Saham Freeport: Perspektif Hukum, Ekonomi dan Teknik” di Hotel JW Marriot, Jakarta, Jumat (3/8/2018). Baca Juga: Tingkatkan Wawasan Advokat, Peradi DPC Jaksel Gelar Diskusi

 

“Kami mengangkat isu ini (divestasi Freeport) karena terdapat polemik dan pro kontra. Polemik ini muncul karena ada divestasi US$ 3,85 miliar yang didasari perhitungan jangka waktu operasional Freeport sampai 2021 atau 2041. Lalu, apakah ada cela hukum dari Rio Tinto dan Indocopper untuk tidak melanjutkan jual beli saham ini?” tanya Ketua Peradi DPC Jakarta Selatan, Octolin H Hutagalung saat membuka diskusi.

 

Nama Rio Tinto muncul lantaran perusahaan tambang asal Britania Raya memiliki 40 persen saham di PTFI. Sehingga, PT Indonesia Asahan Alumunium (Persero) harus mengeluarkan dana sebesar US$ 3,5 miliar untuk membeli porsi saham tersebut. Sedangan PT Indocopper juga muncul karena dalam divestasi saham ini, Inalum membeli saham anak usaha Freeport-McMoran Inc. (FCX) tersebut sebesar US$ 350 juta.

 

Turut hadir dalam acara ini sebagai pembicara, Pakar Hukum Pertambangan Universitas Padjajaran, Danrivanto Budhijanto menilai Head of Agremeent (HoA) yang ditandatangani antara pemerintah Indonesia dengan FCX pada Kamis (12/7/2018) lalu masih menimbulkan persepsi yang berbeda antara masing-masing pihak terkait.

 

“Pemerintah menegaskan HoA sudah mengikat, namun Rio Tinto dalam keterangan persnya mengklaim HoA tidak bersifat mengikat. Adapun, Rio Tinto mengindikasikan bahwa perjanjian tersebut tak lebih dari sekadar jalan masuk untuk dapat membeli hak partisipasinya di tambang PTFI,” kata Danrivanto.

 

Dia khawatir HoA tersebut dijadikan jalan bagi PTFI untuk memperpanjang Kontrak Karya (KK) hingga 2041. Menurut Danrivanto, perpanjangan Kontrak Karya 1991 memberi peluang bagi PTFI mengajukan perpanjangan hingga 2041. Hal tersebut menjadi celah dan membuat pemerintah tidak memiliki alasan hukum untuk menolak atau menahan perpanjangan KK. Ketentuan ini tercantum pada Pasal 31 ayat 1 KK 1991.

Tags:

Berita Terkait