Mahkamah Agung Dukung RUU Hukum Acara Perdata Segera Disahkan
Konferensi ADHAPER 2018:

Mahkamah Agung Dukung RUU Hukum Acara Perdata Segera Disahkan

Perkembangan kebutuhan masyarakat perlu diakomodasi demi keadilan dan kepastian hukum.

Oleh:
Norman Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit
Wakil Ketua MA Bidang Non-Yudisial, Sunarto, menyampaikan paparan dalam Konferensi Hukum Acara Perdata ke-5 di Jember, Jawa Timur, Jum'at (10/8). Foto: Edwin
Wakil Ketua MA Bidang Non-Yudisial, Sunarto, menyampaikan paparan dalam Konferensi Hukum Acara Perdata ke-5 di Jember, Jawa Timur, Jum'at (10/8). Foto: Edwin

Bertahun-tahun sudah muncul gagasan dan suara yang menginginkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata, lazim dikenal Hukum Acara Perdata (HAP), direvisi sesuai perkembangan zaman. HAP yang dipakai Indonesia saat ini adalah peninggalan era Hindia Belanda. Gagasan merevisi Hukum Acara Perdata kembali bergaung kencang dalam Konferensi Nasional Hukum Acara Perdata ke-5 yang diselenggarakan Asosiasi Dosen Hukum Acara Perdata (ADHAPER), 10-12 Agustus 2018 di Jember, Jawa Timur.

 

Dukungan pada RUU Hukum Acara Perdata yang telah disusun sejak 1987 bahkan datang dari Mahkamah Agung. Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Non Yudisial, Sunarto, mewakili Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali menyampaikan pandangan bahwa pengesahan RUU Hukum Acara Perdata sudah mendesak. “Memang menjadi kebutuhan, yang paling merasa selaku user adalah hakim dan advokat,” kata Sunarto saat diwawancarai oleh hukumonline usai menyampaikan pidato kunci pembuka konferensi di Auditorium Fakultas Hukum Universitas Jember, Jumat (12/8).

 

Sebagai hakim karir sejak tahun 1987, Sunarto merasakan bahwa hukum formil yang berlaku dalam perkara perdata perlu segera diselaraskan dengan kebutuhan masyarakat. Apalagi saat ini pengaruh era globalisasi dan kemajuan teknologi informasi terhadap proses beracara di pengadilan sudah begitu kuat.  Sunarto setuju perlu dilakukan segera kodifikasi dan unifikasi hukum acara perdata Indonesia.

 

Hukum Acara Perdata Indonesia saat ini tersebar dalam beragam peraturan perundang-undangan. Dua produk hukum warisan kolonial yang paling banyak dipakai adalah Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) dan Rechtsreglement Buitengewesten (RBg). Keduanya diberlakukan berdasarkan ketentuan peralihan UUD 1945 serta UU Darurat No. 1 Tahun 1951 tentang Tindakan-Tindakan Sementara Untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil. Belakangan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 19 Tahun 1964 tentang Pemeriksaan dan Memutus Perkara, mempertegas keberlakuan HIR dan RBg.

 

(Baca juga: Reglement Hukum Acara: Riwayatmu Dulu, Nasibmu Kini)

 

HIR dan RBg menganut dualisme wilayah hukum yaitu Jawa dan Madura serta wilayah di luar Jawa dan Madura. Dalam praktik hingga saat ini, para hakim di wilayah Jawa dan Madura akan menggunakan HIR. Sebaliknya hakim-hakim di luar Jawa dan Madura akan menggunakan RBg. “Tentu sudah tidak sesuai lagi dengan tata hukum Indonesia saat ini yang tidak ada lagi pembagian Jawa dan Madura serta di luar dari keduanya,” kata Sunarto di depan para peserta konferensi.

 

Untuk tercapainya keseragaman pedoman beracara yang selaras dengan sistem hukum, Mahkamah Agung mendukung bahwa HIR dan RBg perlu segera diganti demi mencapai kepastian hukum. “Harus ada keseragaman beracara perkara perdata di seluruh Indonesia,” ujarnya.

 

Sunarto menyebutkan ada tiga persoalan yang di peradilan yang menjadi keluhan utama masyarakat. Pertama, proses beracara di peradilan yang menghabiskan waktu lama dan prosesnya berbelit-belit. Kedua, sulitnya mengakses produk pengadilan seperti putusan atau ketetapan yang bersifat terbuka untuk umum. Ketiga, perilaku oknum hakim dan aparat peradilan lainnya yang menyimpang dari kode etik profesi.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait