13 Tahun Berkiprah, KY Telah Usulkan 657 Hakim Dijatuhi Sanksi
13 Tahun KY:

13 Tahun Berkiprah, KY Telah Usulkan 657 Hakim Dijatuhi Sanksi

KY berpandangan ragam masalah berkaitan pelanggaran KEPPH perlu diurai dan dibenahi terus menerus. Mulai proses pengangkatan hakim, pendidikan hakim, penguasaan perkembangan ilmu pengetahuan, moral hakim, kesejahteraan hakim termasuk lebih membuka partisipasi publik dan penguatan pengawasan.

Oleh:
Agus Sahbani
Bacaan 2 Menit
Sidang MKH di Mahkamah Agung. Foto: RES (Ilustrasi)
Sidang MKH di Mahkamah Agung. Foto: RES (Ilustrasi)

Sejak pertama kali berdiri pada 2005 hingga Juni 2018 dari 16 ribu lebih laporan masyarakat, Komisi Yudisial (KY) telah mengusulkan penjatuhan sanksi terhadap 657 hakim semua tingkat peradilan yang dinyatakan terbukti melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH). Rekomendasi sanksi ini hasil pemeriksaan melalui proses Sidang Pleno Anggota KY dalam tiga periode kepemimpinan KY sejak 2005 hingga saat ini.   

 

Saat masih berlakunya UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang KY, fase 2005-2011 usul penjatuhan sanksi sebanyak 120 hakim. Dari total 120 sanksi tersebut berupa teguran tertulis sebanyak 54 usulan sanksi (45 persen). Kemudian di bawahnya secara berurut adalah pemberhentian sementara sejumlah 50 usulan sanksi (41,67 persen) dan pemberhentian sebanyak 16 usulan sanksi (13,33 persen).

 

Kemudian berdasarkan UU Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan UU No. 22 Tahun 2004 tentang KY, KY telah mengajukan usulan penjatuhan sanksi sebanyak 537 hakim. 537 sanksi tersebut dengan rincian berupa sanksi ringan dijatuhi kepada 393 hakim terlapor (73,18 persen), sanksi sedang dijatuhi kepada 92 hakim terlapor (17,13 persen), dan sanksi berat dijatuhi kepada 52 hakim terlapor (9,68 persen).

 

Jenis pelanggaran terbanyak adalah bersikap tidak profesional dan tidak cermat. Misalnya, pelanggaran yang ditemukan dalam laporan berbentuk kesalahan penulisan putusan (typo error, clerical error). Kesalahan penulisan putusan adalah kekeliruan atau kekhilafan penulisan atau menempatkan keterangan dalam pertimbangan atau amar putusan yang seharusnya tidak ada, tetapi tetap muncul dalam putusannya.

 

“Jadi, tidak semata-mata kesalahan ketik pada penulisan huruf atau penulisan nama. Kekhilafan atau kesalahan penulisan putusan ini dapat berakibat putusan tak mengikat secara hukum karena banyak terjadi justru memunculkan masalah substansi yang tidak dapat ditelorir (invalidated),” ujar Juru Bicara KY Farid Wajdi dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (15/8/2018). Baca Juga: Kasus Suap Dominasi Penghukuman Hakim Lewat MKH

 

Dia mengungkapkan dalam beberapa kasus, salah ketik putusan dapat berdampak tidak dapat dieksekusinya suatu putusan atau bahkan menghilangkan hak-hak para pihak dalam proses peradilan. “Lembaga peradilan seharusnya lebih proaktif membenahi kekeliruan ini. Masalahnya pembenahan atau koreksi putusan tidak hanya dapat dilakukan hanya lewat renvoi (bagian yang salah dicoret, lalu dibenarkan),” kata Farid.

 

“Jenis pelanggaran lainnya berbentuk tidak bersikap adil, bertemu pihak berperkara, perselingkuhan, perjudian, narkoba, indispliner, dan menerima suap dan gratifikasi,” ungkapnya.

Tags:

Berita Terkait