Perlu Kajian Mendalam Terkait TAP MPR dan Kewenangan MPR
Pojok MPR-RI

Perlu Kajian Mendalam Terkait TAP MPR dan Kewenangan MPR

Untuk kepentingan teknis ke depan, perlu ada perubahan UUD cukup mengatakan bahwa UUD Indonesia itu adalah UUD yang ada sudah berubah dan kemudian diletakkan dalam satu naskah.

Oleh:
RED
Bacaan 2 Menit
Sarasehan Nasional bertema Memperkuat Status Hukum Ketetapan MPRS dan MPR dalam Sistem Hukum Indonesia. Foto: Humas MPR
Sarasehan Nasional bertema Memperkuat Status Hukum Ketetapan MPRS dan MPR dalam Sistem Hukum Indonesia. Foto: Humas MPR

Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun saat menutup Sarasehan Nasional bertema “Memperkuat Status Hukum Ketetapan MPRS dan MPR dalam Sistem Hukum Indonesia” yang digelar oleh MPR RI, Sabtu (18/8), menilai bahwa memang banyak sekali perbedaan-perbedaan pendapat mengenai MPR dan TAP-TAP MPR walaupun sudah diputuskan sekalipun. 

 

Sebagai contoh misalnya, ketika bicara tentang TAP MPR, ada yang menyatakan bahwa TAP MPR itu adalah sebuah norma hukum, dan masih berlaku. Tapi, ada juga yang mengatakan bahwa itu (TAP MPR) hanya etika saja. Jika TAP MPR menjadi norma hukum, maka kemudian TAP MPR harus menjadi acuan, menjadi landasan bagi pembentukan peraturan perundang-undangan.

 

“Karena kalau dia sebagai norma kan dia (TAP MPR) mesti masuk dalam hierarki di atas undang-undang jadi, konsekuensinya adalah proses pembentukan undang-undang ya itu harus mengacu kepada TAP MPR (ex-officio), tapi kalau dia hanya sebagai etika ya maka dia hanya sebagai sebuah landasan moral etik saja. Dia atau TAP MPR tidak punya konsekuensi apa-apa. Nah ini menurut saya harus diselesaikan,” katanya.

 

Seperti diketahui, Ketetapan MPR yang sudah ada memiliki sifat mengatur (regeling) dan bersifat keputusan (beschikking) dan ini dikuatkan dalam Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011. Tapi, sudah ada kesepakatan pasca amandemen UUD 1945 bahwa MPR tidak bisa lagi mengeluarkan TAP MPR yang besifat mengatur.

 

“Tapi kan UU bisa berubah. Nah bicara soal dibuatnya produk Ketetapan MPR yang bersifat beschikking yang baru ke depannya, lagi-lagi ada perbedaan. Ada yang mengatakan bisa MPR membuat buat produk yang bersifat beschikking yaitu Ketetapan MPR mengenai pelantikan Presiden dan Wakil Presiden bahkan dilampiri dengan visi dan misi tapi ada juga yang mengatakan tidak perlu. Hal-hal seperti ini, saya rasa harus diselesaikan,” ujarnya.

 

Hal selanjutnya yang penting adalah soal amandemen konstitusi. Jika dilihat, hanya ada dua materi saja yang dipersoalkan. Pertama, materi tentang kewenangan MPR yang dianggap tidak terlalu kuat lagi sehingga ada pihak yang menantang kembali saja kepada yang lama atau kembalikan kewenangan MPR seperti dulu. Kedua, mengenai tidak adanya Pancasila di dalam pasal-pasal dalam UUD. 

 

“Terhadap kedua materi persoalan tersebut, kalau saya berpandangan ya not necessary ya untuk dilakukan perubahan konstitusi. Tapi, kalau kita bicara mengenai soal-soal yang teknis dan substantif perlu sekali. Soal yang teknis misalnya, betapa sulitnya UUD kita ini naskahnya ‘enggak karu-karuan’. Kalau di Amerika naskah asli bisa kita baca lalu kemudian ada 27 amandemen itu dilampirkan ya kan tapi naskah asli tetap bisa kita baca.  Kalau kita perubahannya terlalu fundamental dan terlalu banyak semua diubah, sehingga antara naskah asli dan perubahan itu itu sudah berbeda sama sekali dari sisi paradigma bahkan menghilangkan lembaga,” terang Refly.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait