Pemulihan Lahan Gambut Harus Ditopang Penegakan Hukum
Berita

Pemulihan Lahan Gambut Harus Ditopang Penegakan Hukum

Periode 20150-2018 Pemerintah telah menjatuhkan 163 sanksi administratif, 12 kasus penegakan hukum perdata, dan 35 pidana.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi lahan gambut yang diubah menjadi lahan perkebunan sawit. Foto: MYS
Ilustrasi lahan gambut yang diubah menjadi lahan perkebunan sawit. Foto: MYS

Kebakaran hutan dan lahan di sejumlah daerah pada tahun 2015 mendapat sorotan serius bukan hanya di tingkat lokal tapi juga internasional. Guna mengatasi persoalan itu Pemerintah telah menerbitkan beberapa kebijakan, antara lain menerbitkan Peraturan Presiden No. 1 Tahun 2016 tentang Badan Restorasi Gambut (BRG). Kepala BRG, Nazir Foead, mengatakan lembaga yang dipimpinnya bersifat ad hoc, jangka waktu yang diberikan hanya 5 tahun. Menurutnya, itu jadi salah satu tantangan yang harus dihadapi BRG dalam melakukan pemulihan area gambut.

 

Nazir mengakui kerja yang dilakukan belum optimal dan masih ditemukan titik api di area gambut, terutama wilayah yang jadi target restorasi. Itu terjadi karena proses pemulihan dilakukan secara bertahap sehingga masih ada area yang belum sempat diintervensi. Dalam melakukan pemulihan lahan gambut, BRG bekerjasama dengan masyarakat desa. “Kebakaran memang masih terjadi di area paling jauh dijangkau, sehingga belum bisa ditangani,” katanya dalam diskusi di Jakarta, Kamis (15/8).

 

Dalam melakukan kerja pemulihan itu BRG menjalin kerjasama dengan pihak ketiga seperti pemerintah daerah, masyarakat desa, dan universitas. Nazir mengatakan bisa saja pihaknya menjalin kerjasama dengan perusahaan, tapi itu tidak dilakukan karena dia yakin upaya yang dilakukan bersama masyarakat desa bisa membuahkan hasil yang lebih baik.

 

(Baca juga: Jerat Korporasi Pembakar Lahan, Saatnya Konsep Strict Liability Digunakan)

 

Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), M.R. Karliansyah, mengatakan upaya yang dilakukan pemerintah untuk menangani kebakaran hutan dan lahan sudah cukup baik. Tercatat periode 2016-2017 terjadi penurunan jumlah titik api mencapai 93,6 persen. Luas area yang terbakar turun dari 2,6 juta hektar tahun 2015 menjadi 438 ribu hektar tahun 2016, dan 165 hektar tahun 2017. Sebaran titik panas paling banyak berada di lahan non konsesi.

 

Karliansyah mengatakan pemerintah telah melakukan penindakan hukum dalam kasus kebakaran hutan dan lahan. Periode 2015-2018 tercatat pemerintah telah mengawasi 328 izin, 163 penjatuhan sanksi administratif, 12 kasus penegakan hukum perdata, 35 pidana, dan 67 kasus yang penyelesaiannya difasilitasi Polri dan Kejaksaan.

 

Dari 163 sanksi administratif yang sudah diberikan terdiri dari 115 surat peringatan, 29 paksaan pemerintah, 16 pembekuan izin, dan 3 pencabutan izin. Untuk perkara pidana yang masih diproses penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) ada 35 kasus, dan 67 kasus difasilitasi Polri dan Kejaksaan. Dari seluruh perkara yang berproses di pengadilan, Karliansyah mengatakan sebagian putusan dimenangkan pemerintah.

 

Direktur Eksekutif Nasional Walhi, Nur Hidayati, mengakui terjadi penurunan jumlah kebakaran lahan di tahun 2017. Tapi, perempuan yang disapa Yaya itu melihat belum ada upaya serius pemerintah untuk mencegah agar kasus serupa tidak terjadi lagi. Upaya yang bisa dilakukan pemerintah untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan yakni moratorium perizinan, terutama untuk perkebunan sawit dan kayu. “Kami mendesak pemerintah segera menerbitkan peraturan yang menegaskan moratorium terhadap penerbitan izin pekebunan sawit dan kayu,” tukasnya.

Tags:

Berita Terkait