Nasib Ojek Online Pasca Putusan MK, Kini Tanggungjawab Siapa?
Utama

Nasib Ojek Online Pasca Putusan MK, Kini Tanggungjawab Siapa?

Membuat peraturan teknis pada level Perda tidak menjamin persamaan pengaturan terkait hak dan kewajiban pengemudi dan pengguna antar daerah mengingat bentuk kebijakannya yang bersifat regional. Padahal, perusahaan ojek online ini kan lingkupnya nasional.

Oleh:
Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit
Policy Forum, Kebijakan transportasi perkotaan dan Pengembangan Ekonomi Regional yang diselenggarakan oleh Hukumonline bekerjasama dengan D inside di Hotel Wyndham, Surabaya, Selasa (28/8).
Policy Forum, Kebijakan transportasi perkotaan dan Pengembangan Ekonomi Regional yang diselenggarakan oleh Hukumonline bekerjasama dengan D inside di Hotel Wyndham, Surabaya, Selasa (28/8).

Berbagai peristiwa nahas yang menimpa pengendara ojek online akibat bentrok dengan angkutan umum konvensional, hingga cap ‘ilegal’ yang dilekatkan beberapa pejabat pemerintah di level pusat dan daerah yang diperkuat pasca putusan MK No. 41/PUU-XVI/2018 telah membuat hak pengendara ojek online atas jaminan perlindungan hukum serta hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak menjadi semakin terancam.

 

Dalam putusan MK a quo, majelis hakim berpendapat bahwa ojek (sepeda motor) tidak dapat dikategorikan sebagai angkutan umum, sehingga konsekuensinya pemerintah (Kementerian Perhubungan) tak lagi berwenang mengatur soal ojek online karena tidak diakui dalam UU 20/2009 Tentang LLAJ.

 

Menariknya, Menhub akhirnya melemparkan pengaturan soal ojek online ini kepada pemerintah daerah. Sementara ketiadaan payung hukum di atas perda (UU/PP/PM) jelas memperbesar potensi kacaunya aturan yang dicetuskan Pemda karena ketiadaan prinsip utama yang bisa diacu.

 

Dosen Perundang-Undangan FHUI, Fitriani Ahlan Sjarif, menyebut setidaknya ada 3 pokok masalah yang berpotensi muncul jika ojek online tak memiliki payung hukum di atas Perda. Pertama, pengaturan yang ada di bawah menjadi parsial bahkan cenderung bertentangan dengan UU atau aturan di atasnya.

 

Kedua, Jika hanya diatur lewat Permen, maka persoalan yang terbenahi hanya seputar urusan yang dinaungi masing-masing kementerian yang mengatur. Padahal, kata Fitri, persoalan ojek online seringkali menyangkut urusan lintas kementerian.

 

“Kewenangan menteri kan sangat terbatas padahal ojek online ini cakupannya luas antar kementerian, jadi perlu koordinasi lintas sektor. Makanya permasalahan ojek online ini dibahas seharusnya dalam perumusan UU, sehingga kepentingan lintas kementerian itu bisa dibicarakan di situ,” kata Fitri Policy Forum, Kebijakan transportasi perkotaan dan Pengembangan Ekonomi Regional yang diselenggarakan oleh Hukumonline bekerjasama dengan D inside di Hotel Wyndham, Surabaya, Selasa (28/8).

 

Ketiga, Jika pengaturan diserahkan melalui Perda, maka pengaturan antar daerah menjadi berbeda-beda. Fitri mencontohkan, jika ditelaah 3 aturan soal ojek online dalam Perda yakni, Peraturan Walikota Depok No. 11 Tahun 2017, Peraturan Walikota Bogor No. 21 Tahun 2017 serta Peraturan Walikota Balikpapan No. 25 Tahun 2017, jelas memperlihatkan perbedaan pengaturan yang timpang karena tidak adanya prinsip utama yang dijadikan landasan dalam pengaturan. Padahal, cakupan operasional ojek online ini tak berbatas antar satu kota dengan kota atau wilayah lainnya.

Tags:

Berita Terkait