Begini Pertimbangan MA Batalkan Sebagian Peraturan KPU Pencalonan Eks Napi
Utama

Begini Pertimbangan MA Batalkan Sebagian Peraturan KPU Pencalonan Eks Napi

Penetapan penundaan pemeriksaan permohonan ini tidak relevan lagi untuk dipertahankan dan harus dicabut.

Oleh:
Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Begini Pertimbangan MA Batalkan Sebagian Peraturan KPU Pencalonan Eks Napi
Hukumonline

Mahkamah Agung (MA) telah membatalkan Pasal 4 ayat (3), Pasal 7 huruf g Peraturan KPU No. 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD Kabupaten/kota dan Pasal 60 huruf j Peraturan KPU No. 26 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPD terkait larangan mantan narapidana kasus korupsi, bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, menjadi bakal calon anggota legislatif (bacaleg) dalam Pemilu 2019. Mahkamah Agung menyatakan peraturan dimaksud bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Putusan Mahkamah Agung itu memang sekadar merespons permohonan uji materi yang diajukan pemohon. Tetapi putusan tersebut dimaknai publik sebagai pintu masuk yang memungkinkan terpidana kasus korupsi mencalonkan diri dalam pemilu legislatif. Uji materi itu muncul lantaran sejumlah terpidana kasus korupsi keberatan atas larangan yang tercantum dalam Peraturan KPU. Sebelum putusan MA, sudah ada belasan putusan Bawaslu yang menganulir keputusan KPU.

Dalam putusan perkara nomor 46 P/HUM/2018, MA mengabulkan permohonan keberatan hak uji materiil pemohon atas nama Jumanto. Majelis hakim yang memeriksa permohonan ini terdiri dari tiga hakim agung yakni Irfan Fachrudin, Yodi Martono, Supandi.

(Baca juga: MA Putuskan Mantan Narapidana Korupsi Boleh Nyaleg)

Dalam putusannya, MA menyebutkan “…sepanjang frasa ‘mantan terpidana korupsi’ bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yaitu dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum juncto Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan tidak berlaku umum”.

Pemohon uji materi, Jumanto, pernah jadi terpidana kasus korupsi berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Saat ini Jumanto telah dibebaskan sehingga menurut MA, ia relevan untuk mempersoalkan pengujian frasa mantan terpidana korupsi.  Menurut MA, hak politik seseorang telah diatur dalam Pasal 43 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM), “Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

Majelis hakim agung yang menangani perkara itu juga menggunakan Pasal 73 UU HAM yang mengatur ketentuan pembatasan hak politik seseorang. Normatifnya, pembatasan hanya dapat dilakukan berdasarkan ketentuan Undang-Undang. Peraturan KPU bukan merupakan kategori Undang-Undang sebagaimana yang dimaksud Pasal 73 UU HAM. Mahkamah Agung juga berpandangan bahwa pembatasan terhadap hak politik seseorang harus berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

“Berdasarkan Putusan Hakim yang mencabut hak politik seseorang tersebut di dalam hukuman tambahan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sesuai ketentuan dalam Pasal 18 ayat (1) huruf d UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 35 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur mengenai pencabutan hak politik (hak dipilih dan memilih)”.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait