Perpres ISPO Perlu Adopsi Prinsip HAM
Berita

Perpres ISPO Perlu Adopsi Prinsip HAM

Standar minimal yang perlu dipenuhi yakni adanya mekanisme komplain dan penyelesaiannya.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Kebun sawit. Foto: MYS
Kebun sawit. Foto: MYS

Minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) merupakan salah satu komoditas ekspor andalan Indonesia. Walau menjadi primadona ekspor, tata kelola industri kelapa sawit belum berjalan baik. Pemerintah telah menerbitkan sejumlah regulasi untuk mengatur industri kelapa sawit, antara lain Peraturan Menteri Pertanian No. 11 Tahun 2015 tentang Sistem sertifikasi Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil Certification System/ISPO).

Koalisi organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Forum Koordinasi Masyarakat Sipil untuk Penguatan ISPO menilai beleid Pemerintah itu belum berjalan efektif. Karena itu, peneliti The Ecosoc Rights, Sri Palupi, mendorong pemerintah untuk memperkuat ISPO agar industri sawit dapat membenahi berbagai persoalan yang ditimbulkan seperti lingkungan, HAM, legalitas, dan ketidakadilan dalam penguasaan sumber daya alam dan ekonomi. Palupi mencatat sedikitnya ada tiga hal yang perlu disasar pemerintah melalui ISPO: mendorong agar hasil produksi sawit dapat diterima pasar, membenahi tata kelola, dan menjawab masalah yang dihadapi petani sawit mandiri atau swadaya.

Pemerintah tengah menggodok rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang ISPO. Jika usaha ini berhasil, maka ISPO punya landasan hukum yang lebih kuat dibandingka Peraturan Menteri Pertanian No. 11 Tahun 2015. Pemerintah sudah meminta masukan dari sejumlah organisasi masyarakat sipil terkait rencana penyusunan Perpres. Masukan masyarakat sipil antara lain ISPO harus menghormati HAM, perlu ada pemantauan independen terhadap sistem sertifikasi ISPO, serta perlindungan hutan dan gambut. Tapi dari berbagai informasi yang diperoleh koalisi, Palupi menyebut berbagai usulan itu dihapus. Menurut Palupi prinsip ketelusuran dan HAM sangat penting dalam sistem sertifikasi ISPO mengingat sering terjadi konflik antara masyarakat dengan perusahaan yang mengelola perkebunan kelapa sawit.

(Baca juga: Pemulihan Lahan Gambut Harus Ditopang Penegakan Hukum).

Tak ketinggalan Palupi mendesak pemerintah untuk mendukung pelaksanaan prinsip HAM di sektor industri sawit. Prinsip itu bisa diadopsi dalam rancangan Perpres ISPO, misalnya, mengatur mekanisme komplain yang bisa diajukan masyarakat terhadap perusahaan kelapa sawit sekaligus bagaimana cara penyelesaiannya. “Kami sangat mendorong agar prinsip HAM bisa menjadi salah satu standar atau norma dalam ISPO. Tanpa itu maka norma yang lain akan sulit diharapkan untuk dipenuhi,” katanya dalam diskusi di Jakarta, Kamis (20/9).

Palupi mencermati secara umum perspektif HAM belum digunakan sebagai pedoman pemerintah dalam menerbitkan kebijakan untuk industri kelapa sawit padahal PBB telah menerbitkan panduan tentang bisnis dan HAM. Terbukti dari hasil kajian yang pernah dilakukannya di sejumlah provinsi menyimpulkan tidak ada satu pun prinsip-prinsip panduan PBB tentang bisnis dan HAM yang sudah dijalankan oleh perusahaan.

Menurut Palupi salah satu standar minimal yang perlu diterapkan perusahaan yang menerapkan prinsip HAM yakni menyediakan mekanisme komplain. Tahap selanjutnya yakni due diligence, apakah seluruh proses produksi yang dilakukan perusahaan sudah menghormati HAM.

(Baca juga: Presiden Revisi Perpres Penghimpunan dan Penggunaan Dana Kelapa Sawit).

Palupi menekankan kepada pemerintah jika serius ingin membenahi tata kelola industri kelapa sawit dan mendorong agar berkelanjutan, maka berbagai usulan koalisi terhadap Perpres ISPO harus dimasukan, salah satunya tentang prinsip HAM. Ketentuan itu akan memberi harapan kepada seluruh masyarakat bahwa industri sawit di Indonesia memberi keuntungan untuk seluruh pemangku kepentingan, bukan hanya keuntungan bagi segelintir konglomerat yang mengabaikan norma.

Tags:

Berita Terkait