Transparansi Sidang HUM, Ekspektasi yang Berujung Uji Materi
Fokus

Transparansi Sidang HUM, Ekspektasi yang Berujung Uji Materi

Advokat mempersoalkan ketertutupan proses pemeriksaan sidang uji materi di Mahkamah Agung. Aktivis buruh sudah pernah melakukan hal serupa. Pasca putusan atas Peraturan KPU, harapan atas keterbukaan kembali mencuat.

Oleh:
Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Gedung Mahkamah Agung. Foto: RES
Gedung Mahkamah Agung. Foto: RES

Memperdebatkan apakah suatu norma bertentangan atau tidak dengan peraturan perundang-undangan di atasnya lebih baik dilakukan secara terbuka. Pandangan orang yang mempersoalkan, argumentasi para pembentuk peraturan, dan pendapat para ahli bisa didengar. Ini sama sejuga dengan memberikan kesempatan yang sama kepada pihak-pihak yang berkepentingan untuk menyodorkan bukti untuk memperkuat argumentasi.

Begitu pula yang terjadi di sidang-sidang pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 di Mahkamah Konstitusi. Tidak hanya menjalankan sidang terbuka, sidang di Mahkamah Konstitusi pun memberikan kesempatan kepada majelis untuk mengklarifikasi, bahkan untuk menggali lebih dalam alasan hukum permohonan uji materi yang diajukan salah satu pihak. Ada proses dialogis yang memungkinkan subtansi  permohonan dibahas lebih mendalam. Tentu saja, putusan akhir ada di tangan majelis hakim. Transparansi di sidang Mahkamah Konstitusi telah mendapat acungan jempol.

Ekspektasi atas sidang terbuka itu sudah lama juga dialamatkan pada proses pengujian peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang yang berada di pundak Mahkamah Agung. Harapannya makin meningkat ketika ada proses pengujian Peraturan Komisi Pemilihan Umum (Peraturan KPU) No. 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD, dan Peraturan KPU No. 26 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPD. Saat itu, muncul perdebatan hangat di ruang public, terutama mengenai boleh tidaknya mantan narapidana untuk kasus korupsi, Bandar narkotika, atau terpidana kekerasan seksual terhadap anak.  

Berharap Pemilu 2019 sebagai momentum bersih-bersih, Komisi Pemilihan Umum menerbitkan larangan mencalonkan diri bagi mantan napi yang terseret ketiga katagori tindak pidana tadi. KPU mendapat dukungan dari lembaga dan aktivis yang selama ini mengadvokasi gerakan antikorupsi. Tetapi, upaya bersih-bersih itu bukan tanpa perlawanan dan tantangan. Mantan napi korupsi ‘melawan’ beleid KPU dengan mengajukan uji materi ke Mahkamah Agung. Lembaga pengawas pemilu di daerah juga beberapa kali mengabulkan permohonan mantan napi terhadap surat keputusan KPU yang ‘mencoret’ nama mantan napi dari Daftar Calon (Sementara) anggota legislatif.

Riuh perdebatan itu berpindah ke pundak Mahkamah Agung setelah ada pihak yang memohonkan pengujian Peraturan KPU terhadap UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum juncto UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Argumen pemohon diperkuat oleh putusan Mahkamah Konstitusi yang ‘memberi’ ruang bagi napi korupsi mencalonkan diri dalam pemilu sepanjang mereka mengakui dan mengumumkan sebagai mantan napi.

(Baca juga: Begini Pertimbangan MA Batalkan Sebagian Peraturan KPU Pencalonan Eks Napi).

Semula, proses pengujian itu dikhawatirkan terhalang aturan waktu tahapan pemilu dan jangka waktu permohonan uji materi. Jangan-jangan majelis baru memutus permohonan setelah Daftar Calon Tetap (DCT) diumumkan KPU sehingga sulit bagi calon masuk ke dalam daftar jika seandainya permohonan uji dikabulkan. Nyatanya, Mahkamah Agung memang mengabulkan sebagian permohonan pemohon.

Mahkamah Agung menyatakan sebagian pasal dalam Peraturan KPU bertentangan dengan UU Pemilu jo UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Dengan putusan ini, berarti mantan napi pun boleh mengajukan diri sebagai kandidat anggota legislatif pada Pemilu 2019 mendatang.

Tags:

Berita Terkait