Pertanyaan Dua Pimpinan KPK Terkait Indeks Persepsi Korupsi Indonesia
Utama

Pertanyaan Dua Pimpinan KPK Terkait Indeks Persepsi Korupsi Indonesia

Mempertanyakan komitmen pemerintah untuk mendongkrak IPK. Indonesia menempati urutan 89 dari 180 negara yang disurvei.

Oleh:
Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
Seseorang melintas di depan paparan IPK Indonesia dengan negara-negara lain yang dluncurkan Selasa (29/1) kemarin. Foto: RES
Seseorang melintas di depan paparan IPK Indonesia dengan negara-negara lain yang dluncurkan Selasa (29/1) kemarin. Foto: RES

Ada yang menarik dari pemaparan nilai Corruption Perception Index (CPI) atau Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia yang dipaparkan Transparency International Indonesia (TII) di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Selasa (29/1). Jika biasanya Ketua KPK Agus Rahardjo menjadi narasumber dan menjawab pertanyaan, kali ini Agus justru menjadi peserta yang melontarkan pertanyaan.

Dalam pemaparan TII, nilai IPK Indonesia pada 2018 naik satu poin dibandingkan tahun 2017 dengan skor 38 dari skala 0-100 poin. Sementara pada tahun 2017 dan 2016, skor Indonesia stagnan pada poin 37. Manajer Riset Transparency International Indonesia (TII) Wawan Suyatmiko, menjelaskan bahwa angka 38 ini menunjukkan Indonesia menempati posisi 89 dari 180 negara yang disurvei; naik tujuh peringkat dibanding 2017 yang menduduki peringkat 96.

Meskipun meningkat, angka tersebut tidak membuat Agus Rahardjo puas. Ia mengaku bingung mengapa Indonesia hanya naik 1 peringkat padahal selama ini setiap perkara yang ditangani KPK terbukti seratus persen di pengadilan. Selain itu KPK juga menangkap sejumlah pejabat tinggi negara yang akhirnya terbukti melakukan korupsi.

"Survei CPI bisa diprediksi bisa naik 1, naiknya sama, law enforcement cara melakukan surveinya seperti apa. Pernah menyaksikan negara lain lakukan seperti kita, ketua senat, kongres, berapa menteri masuk penjara, harusnya naik bukan cuma 1 (peringkat) dong," keluh Agus, Selasa (29/1).

(Baca juga: Presiden Tak ‘Happy’ IPK Hanya Naik 1 Poin, Korupsi Sektor Swasta Mulai Dibidik).

Setelah Agus Rahardjo, Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif yang duduk di deretan narasumber bersama Sekjen TII Dadang Trisasongko, Nathalia Subagyo selaku moderator dan juga Kepala Bappenas Bambang S. Brodjonegoro, juga angkat bicara. Syarif mempertanyakan apa langkah yang diambil pemerintah untuk menaikkan peringkat IPK. "Nambahin Pak Agus, saya dari dulu perbaiki law enforcement, menurut Bappenas itu upaya meningkatkan itu gimana?" tanya Syarif.

Jika hanya memperbaiki disparitas putusan bukan hal yang sulit, karena hanya tinggal membuat petunjuk. Sementara saat ini penegakan hukum dianggap belum maksimal sehingga mempengaruhi skor IPK. Disparitas putusan yang disinggung Syarif sebenarnya berasal dari penjelasan Bambang. Ada usulan dari Komisi Yudisial yang sedang dikaji terkait putusan hakim yang akan berbasis daring (online). Sebab selama ini ada sebuah perkara yang sama dengan putusan berbeda antara pelaku satu dengan pelaku lain padahal jenis perbuatan itu relatif sama. 

Kesejahteraan

Mendengar pertanyaan tersebut, Bambang S. Brodjonegoro menjelaskan bahwa penegakan hukum selalu menjadi salah satu prioritas pemerintah baik dalam program jangka pendek dan menengah maupun jangka panjang. Memperbaiki penegakan hukum juga harus memperhatikan kesejahteraan penegak hukum sendiri. Selama ini korupsi yang dilakukan penegak hukum seperti hakim atau jaksa dianggap karena kesejahteraan mereka belum tercapai.

Tags:

Berita Terkait