RUU Intelijen Dinilai Bertentangan dengan Prinsip Due Process of Law
Berita

RUU Intelijen Dinilai Bertentangan dengan Prinsip Due Process of Law

Kalangan LSM yang bergerak di bidang hak asasi manusia menyatakan keprihatinan sekaligus kritik terhadap materi Rancangan Undang-Undang Intelijen yang kini disusun. Jika hanya untuk mencegah kejahatan, mengapa tidak menerapkan aturan KUHP?

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit
RUU Intelijen Dinilai Bertentangan dengan Prinsip <i>Due Process of Law</i>
Hukumonline

Usman Hamid, Koordinator Badan Pekerja Kontras, mencontohkan aturan soal penangkapan. Sesuai pasal 1 ayat (5), pasal 20 ayat (1) dan ayat (2), pasal 21 ayat (1), (2) dan ayat (3), BIN berwenang melakukan penangkapan terhadap seseorang yang diduga akan melakukan kegiatan yang mengarah pada ancaman nasional.

Kewenangan menangkap menunjukkan badan intelijen ingin mengeksekusi informasi yang mereka peroleh dan analisis. Menurut Usman, seharusnya eksekusi atas informasi intelijen dilakukan oleh lembaga yudisial yang memang punya otoritas untuk itu. Pasalnya, wewenang penangkapan hanya dimiliki oleh badan-badan yudisial. Kewenangan itu membuat BIN memiliki kekuasaan yang cenderung eksesif dan mengambil alih fungsi lembaga yudisial, kata Usman.

Cekal

Jika aturan RUU mengenai kewenangan penangkapan itu dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kejahatan yang mengancam kepentingan nasional, maka aturan yang sudah ada pun bisa dimaksimalkan. KUHP misalnya mengandung pasal-pasal yang mengancam seseorang yang melakukan percobaan kejahatan. Dan untuk itu, polisi berwenang menangkap seseorang yang dicurigai hendak melakukan percobaan tindak pidana tersebut.

Keinginan pembuat RUU agar lembaga intelijen memiliki kewenangan mencegah dan menangkal seseorang, juga dianggap tumpang tindih dengan kewenangan keimigrasian. Pasal 24 RUU menyebutkan Kepala BIN berwenang melakukan pencegahan dan penangkalan terhadap seseorang yang diduga akan melakukan kegiatan yang mengarah pada ancaman nasional. Bukankah Undang-Undang No. 9 Tahun 1992 sudah memberikan kewenangan itu kepada Menteri kehakiman, dalam hal ini Ditjen Imigrasi?

Selain masalah penangkapan dan cekal, sumber pendanaan BIN yang diatur dalam RUU juga dikritik. Selain APBN dan anggaran khusus dari presiden, BIN juga boleh mengupayakan sendiri anggarannya. Jika sumber anggaran yang disebut terakhir tidak diatur secara ketat, lembaga intelijen dikhawatirkan menjalankan praktik bisnis tidak sehat. Apalagi jika dikaitkan dengan hak intelijen mengadakan kontak langsung dengan produsen senjata api.

Jika tidak mengalami perubahan dari substansi draf 5 September 2003, RUU Intelijen dikhawatirkan akan menjadikan Badan Intelijen Negara (BIN) lebih sebagai polisi rahasia daripada dinas rahasia. Dengan menjadi polisi rahasia, tugas lembaga intelijen tidak lagi sebatas menyampaikan data kepada otoritas yudisial yang berwenang, tetapi juga berwenang melakukan penangkapan.

Itu sebabnya Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) dan lembaga pemerhati masalah hak asasi Elsam menyatakan keprihatinan. Dalam pernyataan bersama di Jakarta (15/10), ketiga lembaga swadaya masyarakat ini meminta DPR dan Presiden segera mengambil alih proses legal drafting yang dilakukan BIN.

Ketua Dewan Pengurus YLBHI, Munarman, mengatakan pihaknya bukan antipati terhadap sebuah undang-undang  yang menjadi payung hukum lembaga intelijen negara. Ketiga LSM itu justru setuju tentang adanya sebuah undang-undang intelijen. Namun yang dikritisi adalah substansi RUU Intelijen-–setidaknya draf 5 September 2003--yang dinilai bertentangan dengan prinsip-prinsip due process of law, hak asasi manusia, serta pemerintahan yang bersih dan demokratris.

Tags: