Anton menambahkan, pertemuan tim investigasi dengan otoritas NFI sangatlah penting. Dalam pertemuan itu, tim akan meminta dokumen asli hasil autopsi NFI terhadap jenazah Munir. Salinan hasil autopsi yang telah diperoleh Polri dari Deplu, urai Anton, sangat riskan untuk dijadikan alat bukti. Pasalnya, dokumen tersebut hanya berupa expert report atau resume dan berupa fotokopi.
Padahal, untuk menjadi alat bukti, peradilan Indonesia mensyaratkan harus berupa surat otentik, atau paling tidak penyidik sudah melihat surat aslinya. Selain itu, penyidik ingin mendiskusikan hasil autopsi dengan pihak yang melakukannya. Kalau surat saja kan tidak bisa bunyi, kita sebagai penyidik diwajibkan untuk berdialog dengan yang mengautopsi, cetus Anton.
Mengingat pembahasan akan menyangkut masalah teknis, maka tim penyidik menyertakan beberapa ahli, antara lain, Dr Budi Sampurna, SH, dari Departemen Forensik UI, Dr. Ridla Bakri dari Departemen Kimia UI, Prof. Dr Amar Singh dari Universitas Sumatera Utara.
Jadi saksi
Lebih jauh Anton menuturkan, kemungkinan pihak yang melakukan autopsi menjadi saksi di persidangan, papar Anton, hal itu tergantung kesediaan mereka karena mereka bukan warga negara Indonesia. Jika mereka tidak bersedia, Anton menyatakan para ahli dari Indonesia yang tergabung dalam tim dapat memberikan keterangan di persidangan sesuai hasil pembicaraan mereka dengan pihak yang melakukan autopsi.
Sebelumnya, segera setelah kematian Munir, papar Anton, pihak Polri telah melakukan pemeriksaan awal. Polri telah memeriksa pramugari dan pilot pesawat Garuda yang ditumpangi almarhum Munir, dan juga dokter yang merawat pejuang HAM itu selama penerbangan. Namun, karena saat itu belum ada hasil autopsi, pihak Polri masih menunggu apakah kematian tersebut merupakan kematian wajar atau tidak wajar.
Hasil expert report yang diperoleh Polri dari Deplu menyatakan diduga ada ketidakwajaran, makanya kita kesini untuk memastikan. Bukan hanya sekadar katanya. Karena KUHAP kita kan bukan menganut katanya, demikian Anton.
Sebelumnya, meski telah berada di Belanda sejak Sabtu pekan lalu, tim investigasi tidak dapat bertemu dengan pihak NFI, lembaga yang melakukan autopsi terhadap jenazah Munir. Sebab, Pemerintah Belanda meminta surat keterangan dari Kejaksaan Agung RI, sementara yang dibawa oleh tim investigasi hanya sebatas surat tugas dari Kapolri.
Menurut Anton, hal itu disebabkan karena adanya perbedaan sistem hukum antara Indonesia dan Belanda. Kita membawa surat dari Kapolri karena gerbang hukum dalam masalah pidana di Indonesia kan Polri. Masalahnya, di Belanda polisi adalah pembantu jaksa, dibawah kejaksaan, ujar Anton. Oleh sebab itu, tim investigasi harus menyerahkan surat dari Kejaksaan Agung.