PHK Karena Kesalahan Berat Harus Tunggu Putusan Pengadilan
Berita

PHK Karena Kesalahan Berat Harus Tunggu Putusan Pengadilan

Surat Edaran Menakertrans No. SE-13/MEN/SJ-HK/I/2005 merupakan respon terhadap kekhawatiran pengusaha mengenai kewajiban mereka untuk membayar upah kepada pekerja/buruh mereka yang ditahan karena diduga melakukan pidana.

Oleh:
CR-3
Bacaan 2 Menit
PHK Karena Kesalahan Berat Harus Tunggu Putusan Pengadilan
Hukumonline

 

Gandi menambahkan keluarnya SE Menakertrans No. SE-13/MEN/SJ-HK/I/2005 juga merupakan respon atas kekhawatiran kalangan pengusaha mengenai kewajiban mereka untuk membayar upah kepada pekerja/buruh mereka yang ditahan karena diduga melakukan pidana. Dalam butir butir 3 huruf b SE Menakertrans tersebut, ditetapkan apabila pekerja/buruh ditahan oleh pihak yang berwajib dan pekerja/ buruh tidak dapat  melaksanakan pekerjaan sebagaimana mestinya maka berlaku ketentuan  Pasal 160 UU No. 13/2003.

 

Pasal 160

(1)           Dalam hal pekerja/buruh ditahan pihak yang berwajib karena diduga melakukan tindak pidana bukan atas pengaduan pengusaha, maka pengusaha tidak wajib membayar upah tetapi wajib memberikan bantuan kepada keluarga pekerja/buruh yang menjadi tanggungannya dengan ketentuan sebagai berikut:

a.              untuk 1 (satu) orang tanggungan: 25% (dua puluh lima perseratus) dari upah;

b.              untuk 2 (dua) orang tanggungan: 35% (tiga puluh lima perseratus) dari upah;

c.              untuk 3 (tiga) orang tanggungan: 45% (empat puluh lima perseratus) dari upah;

d.              untuk 4 (empat) orang tanggungan atau lebih: 50% (lima puluh perseratus) dari upah.

(2)           Bantuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan untuk paling lama 6 (enam) bulan takwin terhitung sejak hari pertama pekerja/buruh ditahan oleh pihak yang berwajib.

 

 

Menanggapi putusan MK dan SE Menakertrans No. SE-13/MEN/SJ-HK/I/2005, Ketua Umum Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) Anwar Ma'ruf menyambut baik keluarnya dua produk hukum tersebut. Namun, Anwar berpandangan secara makro negara masih minimalis untuk mewujudkan keberpihakan dan perlindungan pada buruh dan industri dalam negeri.

 

Salah satu faktor penyebab rapuhnya industri nasional adalah kepastian hukum yang tidak jelas melindungi buruh, tambahnya.

Nasib tragis yang menimpa kaum buruh adalah cerita klasik yang tak pernah ada akhirnya di Indonesia. Mulai dari penghasilan yang minim, penganiayaan, fasilitas kerja yang tidak layak, sampai pemutusan hubungan kerja (PHK) secara sepihak serta tanpa alasan yang jelas.

 

Mirisnya, rentetan kejadian tragis terhadap buruh tidak hanya disebabkan oleh kebijakan pemerintah dan pengusaha, tetapi juga peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan. Misalnya saja terkait PHK, UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan yang awalnya diharapkan berpihak pada kepentingan buruh, justru memunculkan ancaman. Misalnya saja Pasal 158 UU No.13/2003 yang memberikan kewenangan pada pengusaha untuk mem-PHK langsung buruh yang diduga telah melakukan kesalahan berat.

 

Untungnya, ancaman tersebut tidak berumur lama. 15 Oktober 2003 atau tujuh bulan setelah UU No. 13/2003 disahkan, sejumlah organisasi serikat buruh mengajukan permohonan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam putusan No. 012/PPU-1/2003 tanggal 28 Oktober 2004 silam, MK akhirnya menyatakan Pasal 158 bersama beberapa pasal lainnya tidak berlaku.

 

Menyikapi putusan MK tersebut, Depnakertrans tanggap dengan menerbitkan Surat Edaran (SE) Menakertrans No. SE-13/MEN/SJ-HK/I/2005 tentang Putusan Mahkamah Konstitusi atas Hak Uji Materiil UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap UUD 1945. Surat edaran ini, menurut Direktur Perselisihan Hubungan Industrial Depnakertrans Gandi Sugandi, mempertegas putusan MK yang menetapkan bahwa pengusaha tidak dapat seenaknya mem-PHK pekerja/buruh yang sedang ditahan karena diduga melakukan kesalahan berat.

 

Dalam Butir 3 huruf a SE Menakertrans No. SE-13/MEN/SJ-HK/I/2005, ditegaskan bahwa pengusaha yang akan melakukan PHK dengan alasan pekerja/buruh melakukan kesalahan berat, maka PHK dapat dilakukan setelah ada putusan hakim pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Tags: