FP-HUA Ultimatum PERADI dalam Waktu 3 x 24 Jam
Utama

FP-HUA Ultimatum PERADI dalam Waktu 3 x 24 Jam

Apabila sampai tenggat waktu yang ditentukan belum ada jawaban atau PERADI tidak memenuhi tuntutan, FP-HUA mengancam akan meneruskan kasus kecurangan yang mereka temukan ke proses pidana.

Oleh:
Rzk/CCR
Bacaan 2 Menit
FP-HUA Ultimatum PERADI dalam Waktu 3 x 24 Jam
Hukumonline

 

Kalau memang terbukti ada sertifikat palsu, peserta tersebut pastinya akan langsung dicoret, kata Thomas.

 

Kebocoran

Tidak hanya itu, FP-HUA juga menuding ada kecurangan dalam ujian, baik dalam hal pelaksanaan maupun dalam hal penentuan kelulusan. Secara spesifik, FP-HUA memaparkan temuan mereka tentang adanya kebocoran jawaban soal ujian yang dimiliki oleh salah seorang peserta dari Surabaya bernama Lina Chandra Dewi sebelum ujian dilaksanakan 4 Februari 2006.

 

Kebocoran tersebut diterima oleh Lina yang berasal dari kantor hukum Pieter Talaway justru dari Ketua PUPA langsung. Thomas, menurut Bambang, mengirimkan bocoran jawaban tersebut melalui fax.

 

Gultom mengklaim memiliki bukti otentik tentang kasus kebocoran jawaban tersebut. Sayangnya, dia menolak untuk menunjukkan bukti-bukti yang dimaksud. Bukti-bukti tersebut bahkan juga tidak diserahkan ke PERADI.

 

Kami akan ungkapkan bukti-bukti yang kami miliki kalau tuntutan kami tidak dipenuhi oleh PERADI, tukas Gultom yang juga mengklaim bahwa untuk membuktikan kasus ini dia sudah menyiapkan saksi.

 

Menanggapi tuduhan kepada dirinya, Thomas dengan tegas membantah karena sebagai panitia, dirinya tidak ada kaitannya dengan soal ujian. Semua pengelolaan ujian diserahkan kepada pihak luar yang menjadi rekanan PUPA dalam pelaksanaan ujian.

 

Kalaupun bocor, itu paling mungkin dari pihak outsourcing (rekanan, red.). Tapi kami sepenuhnya percaya integritas mereka, ujar Thomas.

 

Namun begitu, Thomas mengakui kalau dia kenal dengan bos dari Lina, Pieter Talaway. Menurut Thomas, berdasarkan keterangan Pieter yang dihubunginya tadi, yang benar adalah Lina memegang bahan try out yang diselenggarakan oleh Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), bukan jawaban soal ujian. 

 

Thomas juga mengaku heran kenapa kasus ini baru diungkapkan lagi sekarang. Padahal, kasus ini sudah muncul beberapa hari setelah ujian berlangsung. Ketika itu, Thomas langsung meminta Koordinator Daerah (Korda) Surabaya untuk mengusut kasus ini.

 

3x24 jam

Berdasarkan pernyataan persnya, FP-HUA memberi tenggat waktu kepada PERADI untuk memenuhi tuntutan mereka dalam 3x24 sejak tuntutan disampaikan (13/3). Artinya, FP-HUA meminta agar PERADI memberikan jawaban paling lambat Rabu (15/3).

 

Mereka berjanji akan membahas tuntutan kami dalam rapat pleno hari Rabu nanti yang akan dihadiri oleh kedelapan organisasi advokat, ujar Gultom, menceritakan hasil pertemuan antara 8 (delapan) perwakilan FP-HUA dengan salah satu Ketua PERADI Soemarjono dan seorang staf PERADI.

 

Apabila sampai tenggat waktu yang ditentukan belum ada jawaban dari PERADI, FP-HUA mengancam akan melakukan aksi demo dengan massa yang lebih banyak. Tidak hanya itu, FP-HUA bahkan mengancam akan meneruskan kasus kecurangan yang mereka temukan, terutama tuduhan yang dialamatkan kepada Thomas, ke proses pidana.          

Seperti telah diberitakan sebelumnya, hasil ujian advokat yang telah diumumkan sejak Jumat lalu ternyata berbuntut aksi demo di kantor pusat Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI). Demo yang dilakukan oleh sejumlah calon advokat yang tergabung dalam Forum Penolakan Hasil Ujian Advokat (FP-HUA), pada intinya menolak hasil ujian karena ditenggarai pelaksanaan ujian tersebut tidak transparan dan diwarnai oleh kecurangan. Untuk itu, kami menuntut PERADI melakukan pemutihan terhadap semua peserta ujian. Jadi semua harus dinyatakan lulus, tukas Koordinator FP-HUA RZ Gultom.

 

Gultom menambahkan FP-HUA juga menilai PERADI tidak konsisten atas keputusan yang mereka buat. Ketidakkonsistenan tersebut terkait dengan persyaratan untuk mengikuti ujian, dimana disebutkan bahwa yang dapat menjadi peserta ujian adalah calon advokat yang telah lulus Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) yang pelaksanaannya berakhir paling lambat 30 November 2005.

 

Sementara, FP-HUA menemukan ada peserta bernama Adi Suroyo yang dapat mengikuti ujian dan bahkan lulus, padahal dia mengikuti PKPA yang baru berakhir pada bulan Desember 2005. Ini bukti ketidakkonsistenan PERADI terhadap keputusan yang mereka buat sendiri, ujar perwakilan FP-HUA dari Surabaya Bambang Kisminarso.

 

Terkait hal ini, Ketua Panitia Ujian Profesi Advokat (PUPA) Thomas Tampubolon menegaskan secara logika tidak mungkin terjadi ada peserta yang PKPA-nya setelah 30 November 2005, tetapi bisa mengikuti ujian. Pasalnya, setelah tanggal tersebut PERADI tidak mengeluarkan sertifikat PKPA lagi yang merupakan salah satu syarat untuk mengikuti ujian.

Halaman Selanjutnya:
Tags: