Jaksa Agung Akhirnya Hentikan Penuntutan Soeharto
Soal Soeharto

Jaksa Agung Akhirnya Hentikan Penuntutan Soeharto

Pertama kalinya SKPP diterbitkan bagi terdakwa yang belum meninggal. Akankah pihak lain yang terlibat turut bebas?

Oleh:
CR/Tif/ISA
Bacaan 2 Menit
Jaksa Agung Akhirnya Hentikan Penuntutan Soeharto
Hukumonline

Setelah mencabut cekal, pada Kamis (11/5) Kejaksaan menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) untuk perkara pidana Soeharto. Hal itu diungkapkan Jaksa Agung Abul Rahman Saleh dalam jumpa pers di Kejaksaan Agung Jum'at (12/5).

 

 Kepala Kejaksaan Negeri (Jakarta Selatan, red) telah membuat Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan perkara pidana atas nama H.M Soeharto karena perkara ditutup demi hukum, kata Jaksa Agung .

 

Putusan itu didasarkan pada pasal 140 ayat 2 huruf a dan d KUHAP yang menyebutkan penuntut umum memutuskan menghentikan tuntutan perkara ditutup demi hukum.

 

Jaksa Agung mejelaksan SKPP berbeda dengan deponeering. Perbedaan utama SKPP menyangkut masalah teknis bukan kepentingan umum sebagaimana halnya deponering.

 

Kalau deponeering kan lebih luas menyangkut kepentingan umum. Kalau diberikan deponeering nanti masyarakat banyak bertanya soal kepentingan umum yang mana. SKPP ini lebih cocok karena ini menyangkut kepentingan teknis, kata Jaksa Agung.

 

Ia menegaskan pula berbeda dengan deponeering; SKPP dapat dicabut kembali apabila dikemudian hari terdapat alasan baru yang diperoleh Jaksa Penuntut Umum, misalnya bila Soeharto dinyatakan oleh tim dokter telah sehat. Ini pertama kalinya SKPP diterbitkan bagi terdakwa yang belum meninggal.

 

Jaksa Agung menegaskan pula bahwa penerbitan SKPP tidak menghapuskan tindak pidana Soeharto. Walau Soeharto berstatus bebas, namun berbeda dengan bebas murni jika telah disidangkan (vrijspaak).

 

Pasal 140 KUHAP

(2)

a.

Dalam hal penuntut umum memutuskan untuk menghentikan penuntutan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum, penuntut umum menuangkan hal tersebut dalam surat ketetapan;

 

b.

Isi surat ketetapan tersebut diberitahukan kepada tersangka dan bila ia ditahan, wajib segera dibebaskan;

 

c.

Turunan surat ketetapan itu wajib disampaikan kepada tersangka atau keluarga atau penasihat hukum, pejabat rumah tahanan negara, penyidik dan hakim;

 

d.

Apabila kemudian ternyata ada alasan baru, penuntut umum dapat melakukan penuntutan terhadap tersangka.

Penjelasan: Alasan baru tersebut diperoleh penuntut umum dari penyidik yang berasal dari keterangan tersangka, saksi, benda atau, petunjuk yang baru kemudian diketahui atau didapat.

 

Hanya Laksanakan Perintah

Mengenai kerugian negara dalam kasus dugaan penyelewengan dana tujuh yayasan yang sebelumnya didakwakan kepada Soeharto, Jaksa Agung menegaskan itu masalah lain.

 

Itu merupakan masalah perdata dan hal tersebut masih dalam pengkajian Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara, kata Jaksa Agung menjawab pertanyaan wartawan.

 

Sementara itu JAM Datun, Alex Sato Bya mengatakan bahwa dirinya akan mengejar terus aset Soeharto guna menutupi kerugian negara yang ditimbulkan. Menurut Alex, untuk itu ia harus mendapatkan mendapatkan surat kuasa dari Jaksa Agung.   

 

Ketika ditanya soal penyertaan atau tersangka lain Dalam perkara yang sama Jaksa Agung Muda Intelejen, Moechtar Arifin mengatakan menurut hasil penyidikan yang dilakukan, yang bertanggung jawab dalam masalah ini adalah Soeharto seorang.

 

Karena mereka hanya melaksanakan perintah dari Soeharto selaku Ketua Yayasan, mereka tidak bisa dipertanggungjawabkan sebagai tersangka kata Arifin.

 

Kesimpulan itu dibantah oleh Todung Mulya Lubis dalam siaran pers Imparsial yang diterima hukumonline. Tidak seorang pun yang bisa membebaskan dirinya dengan menggunakan dalih korupsi yang ia lakukan adalah karena perintah atasan.

 

Pelaku korupsi baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama haruslah bertanggung jawab terhadap korupsi yang dilakukan. Artinya, semua kekayaan yang diperoleh dari hasil korupsi selama ini oleh siapapun termasuk keluarga dan kroni Soeharto dan yang lainnya haruslah dikembalikan kepada negara.

 

DPR Cuci Tangan

 

Sementara itu, walau mendorong penyelesaian perkara Soeharto, DPR memilih menyerahkan persoalan ini pada Pemeritah dan lembaga yudikatif. Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Agung Laksono menjelaskan Pimpinan Komisi I dan III DPR telah berkonsultasi dan para fraksi memandang status tuntutan Presiden Soeharto sudah masuk proses hukum oleh karena itu hal ini menjadi  kewenangan yudikatif.

 

DPR mendorong baik Pemerintah maupun yudikatif agar dapat dilakukan penyelesaian sehingga masalah itu tidak mengambang atau tidak menggantung. Lebih baik cepat ada keputusan ujar Agung setelah rapat yang diikuti 15 orang dan berlangsung sejak pukul 13 hingga 14.15. Menanggapi penerbitan SKPP oleh Kejaksaan, Agung menilai hal itu merupakan hak Kejagung dan hak ini dimiliki berdasarkan UU Kejaksaan.

 

Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia Bivitri Susanti menilai sikap DPR terlalu naif. Ia justru menilai ini keputusan politik yang mempengaruhi hukum. Karenanya DPR seharusnya juga berperan dan tidak cuci tangan.

 

Dalam siaran persnya Masyarakat Transparansi Indonesia juga bukan cuma masalah hukum oleh pemerintah tapi masalah bangsa sehingga penyelesaiannya harus melibatkan seluruh elemen bangsa,

 

Karena kasus ini menjadi perhatian publik dan mereka wakil rakyat, seharusnya gejolak di masyarakat bisa ditangkap dan disalurkan melalui kesepakatan politik internal DPR yang serius untuk disampaikan ke eksekutif, tegas Bivitri.

 

Namun ia juga mengingatkan DPR rapat diantara pimpinan saja tidak tepat untuk mengeluarkan pernyataan tersebut. DPR perlu rapat sebelum bersikap atau paling tidak rapat diantara fraksi yang lengkap.

Tags: